PERJUANGAN DEMOKRASI MYANMAR
“AUNG SAN SUU KYI”
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Myanmar adalah
salah satu kawasan yang berada di Asia Tenggara yang hingga kini dikuasai oleh
militer. Setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pemerintahan Burma
membentuk republik dengan Sao Shwe Thaik sebagai presiden dan U Nu sebagai
perdana menteri. Pasca merdeka demokrasi sempat berlangsung di Burma, tetapi
berhenti sejenak tatakala militer yang dipimpin oleh Jendral Ne Win melakukan
kudeta (1958-1960). Demokrasi bersemi kembali setelah pemilu 1960 yang
dimenagkan oleh U Nu dengan partai Union Party. Namun razim militer kembali
mengemukakan pengambilan pemerintahan sipil 1962. Keberhasilan kudeta yang
dilakukakan oleh Ne Win ini dapat dikatakan sebagai awal runtuhnya demokrasi di
Myanmar.
Berbagai
kegiatan regresif yang dilakukan oleh Ne Win menyebabkan masalah intern yang harus
dihadapi Burma. Sehingga ketidakpuasan masyarakat kepada Junta milliter ini
mendorong lahirnya protes besar 1988.
Rakyat menuntut kembalinya demokrasi multipartai dan digantinya pemerintahan.
Kemudian Ne Win mundur digantikan oleh Saw Maung. Dengan kekuasaan Saw Maung
merencanakan penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota parlemen dengan
memberlakukan Undang-Undang Drurat dan membekukan konstitusi 1974. Hasil pemilu
tidak di akui oleh militer karena Aung San Suu Kyi yang memenangkannya.
Jendral Saw
Maung mundur dan digantikan oleh Than Shwe, Ia mencabut UU Drurat 16 September
1992. Dengan karakteristik pemerintahan yang sama yaitu otoriter, represif dan
totaliter. Pengelakkan hasil pemilu dan pengambilalih kekuasaan oleh militer
karena ia menganggap prodemokrasi ancaman bagi supremasi militer.
Masalah yang
terjadi di Myanmar menyedot perhatian dunia Internasional, yang dikarenakan
banyaknya penindasan keras kepada demonstrasi yang menentang pemerintahan.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Junta telah membuat rakyat menjadi
miskin, dan kebijakan domestik Junta telah menciptakan kondisi yang mengancam
ketidakstabilan di wilayah ASEAN yang berujung pada kesinisan sikap
Internasional. Proses percobaan mempengaruhi Junta agar melakukan perubahan telah
dilakukan PBB dan ASEAN.
Sejarah
kehidupan Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin gerakan demokrasi Mmyanmar. Aung
San Suu Kyi lahir pada 19 Juni 1945 di kota Yangoon. Aung San Suu Kyi adalah
seorang putri dari pahlawan perjuangan Kemerdekaan Mmyanmar, yaitu Aung San
yang tewas beberapa bulan sebelum Myanmar merdeka dari Inggris pada tahun 1948.
Aung San Suu Kyi mengenyam pendidikan di Yangoon sampai tahun 1960. Ketika
ibunya Daw Khin Kyi ditunjuk sebagai Dubes untuk India dan kemudian Aung San
Suu Kyi melanjutkan pendidikannya di Universitas Delhi, di India. Pada tahun
1964 sampai 1967 ia belajar ilmu filsafat, politik, dan ekonomi di St Hugh’s
College, Universitas Oxford di Inggris dan meraih gelar sarjana muda.
Dua tahun
setelah meraih gelar sarjananya, Aung San Suu Kyi pergi ke New York untuk
bekerja di PBB. Disana Suu Kyi mulai membentuk gagasan politiknya. Pada tahun
1972 Suu Kyi menikah dengan seorang dosen di Oxford yang berasal dari Inggris
yaitu Michael Aris, putra pertama Suu Kyi adalah Alexander yang lahir pada
tahun 1973, dan putra kedua yang bernama Kim lahir pada tahun 1977. Ketika Aung
San Suu Kyi pulang ke Myanmar untuk merawat ibunya yang sakit, Suu Kyi melihat
negaranya sedang dilanda gelombang protes terhadap Junta Militer, yang
memengang tampuk kekuasaan pada tahun 1962. Demokrasi-demokrasi tersebut makin
menyebar ke seluruh Negara Myanmar dan semakin berkembang dengan pesat, Aung
San Suu Kyi yang saat itu terkejut melihat keadaan negaranya lalu menulis surat
terbuka kepada pemerintah Junta Militer pada tanggal 15 Agustus 1988, dan
menawarkan diri untuk membantu sebagai pihak menengah antara pihak militer
dengan para mahasiswa. Tawaran tersebut mendapat dukungan dari beberapa
pimpinan yang pro militer. Pada tanggal 24 september 1988 Suu Kyi juga ikut
dalam mendirikan partai NLD, yang terdiri dari 105 partai oposisi yang
menentang pemerintahan Junta Militer. Kemudian Suu Kyi menyampaikan pidato
kampanye NLD sebagai bentuk persiapan mengikuti pemilihan umum Nasional pada
tahun 1990.
Ditengah-tengah pergolakan politik didalam negeri, setelah partai PPSM yang dibentuk Ne Win menolak untuk mengadakan referendum untuk kelanjutan Negara Myanmar, rumah Aung San Suu Kyi mengajarkan pada para aktitivis politik. Aung Saan Suu Kyi mengajarkan akan hak asasi manusia. Aksi-aksi demikrasi masa berakhir dengan pertumpahan darah, penguasa melakukan pembantaian sebagai upaya untuk membendung gelombang pemberontakan diseluruh Negara Myanmar. Aung San Suu Kyi tidak dapat melupakan suasana Yangon yang serba mendua, yaitu antara merebaknya harapan sekaligus ketakutan, kegembiraan, dan keputusasan.
Ditengah-tengah pergolakan politik didalam negeri, setelah partai PPSM yang dibentuk Ne Win menolak untuk mengadakan referendum untuk kelanjutan Negara Myanmar, rumah Aung San Suu Kyi mengajarkan pada para aktitivis politik. Aung Saan Suu Kyi mengajarkan akan hak asasi manusia. Aksi-aksi demikrasi masa berakhir dengan pertumpahan darah, penguasa melakukan pembantaian sebagai upaya untuk membendung gelombang pemberontakan diseluruh Negara Myanmar. Aung San Suu Kyi tidak dapat melupakan suasana Yangon yang serba mendua, yaitu antara merebaknya harapan sekaligus ketakutan, kegembiraan, dan keputusasan.
Berdasarkan
pendidikan dan kemampuanya menulis, serta pengalamannya di PBB, Jepang, India,
dan Negara bagian pegunungan Himalayadan dan pengamatannya di Myanmar, Suu Kyi
memberikan komentar dan kritik atas pemerintahan militer dan mengemukakan
alternatife untuk kembali kepada gagasan ayahya (Aung San). Aung San Suu Kyi
berbekal kecakapannya dan pengalamnnya dibidang politik, Suu Kyi melangkah ke
dalam revolusi pada tahun 1988. Aung San Suu Kyi tidak pernah sangsi bahwa
rakyat akan cepat menerimanya, karena Suu Kyi diidentifikasikan dengan ayahnya
oleh masyarakat. Aung San Suu Kyi menjabarkan gagasan ayahnya ke dalam
demokrasi. Pada awalnya Suu Kyi menuntut pembentukan pemerintahan sementara
yang adil untuk mengawasi pemilihan umum nasional yang didalam rakyatna bebas
untuk membentuk partai, memilih pemimpin dan memperjuangkan kekuasaan. Dengan
tajam Aung San Suu Kyi mengencam perlakuan Junta Militer yang menganggu dan
menahannya, ketika melakukan perjalanan ke daerah-daerah, dan Suu Kyi
menggambarkan pemerintahan tersebut sebagai fasis, dan yang melakukan gangguan
terhadap perubahan secara damai. Pada bulan Juni 1989, secara terbuka Suu Kyi
menuduh Ne Win sebagai pemimpin dari semua penderitaan rakyat dan orang yang
merusak segala sesuatu yang telah direncanakan terhadap orang-orang yang
berkuasa dan Ne Win sebagai kekuatan di belakangnya, Aung San Suu Kyi tidak
bermagsud untuk memecah belah atau melemahkan pihak militer.
Tuntutan yang
sebenarnya baru muncul pada tanggal 19 Juli 1989, didalam peringatan hari
martir yang secara tradisional mengenang jasa Aung San dan kabinetnya. Pihak
militer telah mengatur upacara tersebut dengan mengundang Aung San Suu Kyi
untuk bergabung dengan para pemimpin Negara yang memperingati peristiwa
tersebut. Aung San Suu Kyi menolak dan mengatakan bahwa dia ingin menghormati
ayahnya dengan caranya sendiri. Dalam menghadapi yang disebabkan oleh
serangkaian kejadian tersebut, Aung San
Suu Kyi membatalakan kunjungan upacara peringatan tersebut guna mencegah
pertumpahan darah, setelah mengetahui banyak mahasiswa yang menyertainya.
Keesokan harinya pada tanggal 20 Juli 1989, pihak Junta Militer menyerang para
mahasiswa dan Aung San Suu Kyi dikenai tahanan rumah dan memutuskan hubungan
dengan para pengikutnya dan dunia luar. Bahkan mereka juga menahan Tin U selaku
ketua partai NLD.
Kepulangan
Aung San Suu Kyi ke Myanmar bersamaan dengan maraknya pemberontakan yang
dilakukan mahasiswa dan masyarakat untuk melawan rezim Junta Militer Ne Win.
Aung San Suu Kyi kemudian muncul sebagai tokoh pergerakan rakyat Myanmar
meskipun dikenai tahanan rumah pada tahun 1989, namun partai yang didirikan
Aung San Suu kyi tetap memenagkan pemilihan umum nasional pada tahun1990. Sejak
saat itu, selain pemerintah Junta Militer menolak membebaskan Suu
Kyi,pemerintah juga menolak untuk menyerahkan tampuk kekuasaan pada partai yang
memenangkan pemilihan umum pada tahun 1990, yaitu partai NLD.
Tujuh
bulan berikutnya Aung San Suu Kyi berkeliling Myanmar yang disebut sebagai
“mencoba perairan politik”. Aung San Suu Kyi mengunjungi wilayah Irawadi,
Magwe, Mandalay, dan daerah sagaing di Myanmar Hulu, maupun dua kota dibagian
Shan dan Mon dimana kekuatan pemberontak mempunyai pengaruh yang sangat besar
untuk menghimpun kekuatan guna melawan Junta Militer.
B.
Rumusan
Masalah
1. Awal
mula munculnya pemerintahan Junta Militer di Myanmar?
2. Bagaimana
gerakan perlawanan prodemokrasi (Aung San Suu Kyi)?
3. Keterlibatan
ASEAN dalam menangani masalah di Myanmar?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
awal mula munculnya pemerintahan Junta Militer di Myanmar.
2. Mengetahui
bagaimana gerakan perlawanan prodemokrasi (Aung San Suu Kyi).
3. Mengetahui
keterlibatan ASEAN dalam menangani masalah di Myanmar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Runtuhnya
Demokrasi Myanmar
Pada awalnya Myanmar merupakan negara kolonial Inggris dan Jepang.
Selama dijajah Inggris dibawah kepemimpinan Aung San melakukan perlawan kepada
Inggris bekerja sama dengan Jepang dengan menggunakan angkatan bersenjata BIA
(Burma Independence Amry). Akan tetapi setelah berhasil, Jepang tetap menguasai
Myanmar. Kemudian BIA tampil kembali bersama AFPL (Anti Fascist People’s
Freendom) dan Inggris melakukan perlawanan mengusi Jepang.
Dengan kekalahan Jepang tentara Inggris mulai mencoba
memerintah Myanmar kembali, tapi Inggris tidak berhasil karena memiliki
tantangan dari AFPL. AFPL menuntut kemerdekaan kepada Inggris, sehingga pada
April 1947 diadakan pemilihan badan legislatif pertama yang dimenangkan oleh
Aung San partai AFPL, kemudian Inggris menunjuk jendral Aung San sebagai
Perdana Menteri Myanmar. Namun sebelum kemerdekaan tercapai, Aung San dan para
pemimpin lainnya terbunuh pada 19 April 1947. Kemudian Inggris menunjuk U Nu
Wakil Presiden AFPL sebagai Perdana Menterri Myanmar. Akhirnya Myanmar
memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 4 Januari 1948.
Pada awal kepemimpinannya Perdana Menteri U Nu
disibukan dengan tantangan dari gerakan komunis dan gereakan bersenjata dan itu
semua membuat pemerintahan yang semakin
tak terkendali, karena tidak dapat mengatasi masalah tersebut U Nu
mengalihkan kekuasaan kepada pihak militer yang dipimpin oleh jendral Ne Win.
Dan Ne Win terpilih menjadi pemimpin kabinet yang baru dan berjanji akan taat
pada konstitusi dan demokrasi serta akan melaksanakan pemilu yang bebas dan
adil pada tahun 1960.
Setelah mengabdi selama 2 tahun, Jendral Ne Win
memenuhi janjianya untuk melaksanakan pemilu pada bulan Februari 1960. Pada
pemilu kali ini dimenangkan oleh U Nu kembali dan pada masa kekuasaannya
situasi Politik Myanmar masih belum stabil. Keadaan negra yang kacau menjadi
peluang Ne Win untuk melakukan kudeta (tanpa darah) yang berlangsung pada 2
Maret 1962. Ne Win melancarkan kudeta pada pemerintahan U Nu dengan bantuan
para aparat militer dan sekutunya dengan alasan pemerintah sipil tidak dapat
mengendalikan keadaan negara dan tidak dapat memajukan perekonomian. Kemudian
Ne Win mendirikan pemerintahan militer otoriter dan memerintah dengan gaya
diktator. Rakyat tidak diperkenankan memilih pemimpinnya sendiri karena semua
keputusan harus melalui pemerintahan militer di Rangoon. Disinilah awal
runtuhnya demokrasi Myanmar.
B.
Gerakan Perlawanan Prodemokrasi (Aung San Suu Kyi)
Kekacauan negara yang terjadi pada
masa pemerintahan Ne Win, ketika rakyat merasa perlu adanya kehidupan yang
demokratis, mengakibatkan meledaknya gerakan demonstrasi besar-besaran
disepanjang tahun 1988. Pengunduran diri Ne Win sebagai pemimpin yang diktator
dan terjadinya aksi protes yang meluas di hampir seluruh wilayah Myanmar dan mengakibatkan
terbunuhnya ribuan jiwa rakyat Myanmar, menjadi awal bagi Suu Kyi untuk segera
melakukan perlawanan terhadap militer dan melakukan perubahan yang berhak
didapatkan oleh rakyat Myanmar.
Aung San Suu Kyi adalah salah satu
tokoh prodemokrasi di Myanmar. Putri dari The Founding Father Myanmar Aung San
ini telah menjadi tokoh pejuang demokrasi bagi rakyat Myanmar sejak tahun 1988.
Sebagai putri dari pahlawan kemerdekaan, Suu Kyi mewariskan keberanian orang
tuanya dalam membela dan memajukan bangsanya sampai titik darah penghabisan. Suu Kyi lahir di Yangon,
kemudian disebut Rangoon, pada tanggal 19 Juni 1945. Dia dididik di Myanmar dan
India, di mana ibunya duta besar, dan kemudian belajar di Oxford dan kemudian
bekerja dengan PBB di New York. Pada tahun 1972, ia menikah dengan Michael
Aris, seorang akademisi Oxford. Dia tinggal sebagian besar hidupnya di luar
negeri sebelum kembali ke rumah keluarga di Yangon Inya Lake pada bulan April
1988 untuk merawat ibunya yang sakit. Kebencian kekuasaan militer mendidih ke
dalam protes pro-demokrasi di seluruh negeri.
Gagasan-gagasan politiknya bagi perubahan negara tidak jarang menjadikan posisi
militer terancam dan menyebabkan dirinya menjadi tahanan politik militer.
Aksi politik Aung San Suu Kyi untuk
pertama kali dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1988 dengan melakukan pidato di
lapangan depan Pagoda Shwedagon, Yangoon. Aung San Suu Kyi sangat lantang
menyuarakan kebebasan dan demokrasi, sehingga perjuangannya tidak hanya dinilai
oleh masyarakat Myanmar, masyarakat intenasional juga memberi perhatian lebih
terhadap perjuangannya. Suu Kyi banyak menerima penghargaan dari dunia
internasional seperti penghargaan HAM Tharaf, Nobel Perdamaian, dan Simon
Bolivar Prize.
Sejak keterlibatannya dalam NLD
sebagai sekretaris jenderal, Suu Kyi mulai berjuang atas nama partai. National
League for Democracy (NLD) berdiri dengan tujuan menciptakan pemerintahan
yang demokratis dengan cara mengusahakan perubahan sosial dan politik yang
terjamin perdamaian, HAM dan kesejahteraan. Suu Kyi dan NLD mulai mendapat
perhatian rakyat Mynmar akibat tujuannya untuk memberikan angin demokrasi yang
selama ini tidak dipenuhi oleh pemerintahan militer. Perjuangan tokoh-tokoh
demokrasi di dalam NLD menjadikan NLD sebagai partai paling populer di Myanmar.
Namun kediktatoran militer menjadi penghalang bagi NLD dalam mencapai
tujuannya.
Pada penyelenggaraan pemilu
multipartai tahun 1990, sebenarnya NLD lah yang menjadi pemenang, namun
pemerintah militer dalam naungan SLORC tidak mengakui kemenangan NLD tesebut
karena berbagai alasan. Alasanya karena Aung San Suu Kyi terlalu lama tinggal di Amerika dan
memiliki suami berkewarganegaraan Amerika. Setelah itu Aung San Suu Kyi dan sejumlah besar anggota NLD pun
menjadi tahanan politik karena menyerukan boikot nasional terhadap proses
ekonomi. Baru pada 10 Juli 1995, Aung San Suu Kyi dan tokoh NLD lainnya
dibebaskan dan diperbolehkan melakukan aktifitas kembali namun tetap berada di
bawah kepemimpinan Aung Shwe yang merupakan anggota militer yang ditunjuk
SLORC.
Namun kebebasan yang dirasakan Aung
San Suu Kyi dan anggota NLD yang lain hanya bersifat sementara. Pada 30 Mei
2003 Suu Kyi yang dinilai sebagai ancaman bagi supremasi militer kembali
berstatus sebagai tahanan rumah dan baru dibebaskan pada 13 November 2010.
Myanmar
kembali menggelar pemilihan umum, Minggu, 1 April 2012. Ini merupakan momen
bersejarah bagi negara yang dikuasai junta militer selama puluhan tahun dan ini merupakan pemilu ketiga negara
yang dikuasai junta militer itu dalam setengah abad. Karena itu. pemilu ini
dinilai sebagai hal penting terhadap proses demokratisasi di Myanmar, terutama
bagi Aung San Suu Kyi yang berusaha meyakinkan dunia Barat untuk mengakhiri
sanksi terhadap Myanmar.
Perhatian
dunia pun mengarah ke tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi. Dengan
mencalonkan diri sebagai anggota parlemen untuk pertama kalinya, ini merupakan
debut kembalinya Suu Kyi di dunia politik, setelah menjadi tahanan rumah selama
lebih dari 20 tahun oleh junta militer. Warga
pun berkerumun di tempat pemungutan suara dan terlihat sangat antusias. Seperti
yang terlihat di salah satu sekolah di Waithinkha, kota Kawhmu. Sebelum pemilu
berlangsung, ratusan warga sudah memadati lokasi pemungutan suara dan
memastikan nama mereka terdaftar. Ikut
sertanya Suu Kyi dalam pemilu parlemen ini juga menambah antusiasme warga dalam
mengikuti pemilu.
Pemilu
ini dinilai sejumlah kalangan sebagai langkah penting dalam proses
demokratisasi di Myanmar. Proses ini sebenarnya sudah mulai terlihat ketika di
November 2010, Myanmar menggelar pemilu demokratis pertama dalam 20 tahun
terakhir. Tapi saat itu, partai
yang dipimpin Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), memboikot pemilu
yang dianggap tidak akan melakukan perubahan. Sebenarnya, sejumlah pesimisme
juga berhembus di pemilu tahun ini. Sebab, kendati NLD memenangkan semua kursi
parlemen yang diperebutkan (45 kursi), pengaruh mereka tetap tidak akan
signifikan. Ini disebabkan kursi mayoritas atau sekitar 440 kursi telah
dikuasai oleh anggota militer dan mantan junta.
Kritik
pun juga dilontarkan terhadap Suu Kyi. Walau diyakini memperoleh banyak
dukungan, tapi Peraih Nobel Perdamaian ini dianggap berkompromi dengan
pemerintah yang masih memiliki pengaruh dari junta militer. Win Tin, salah seorang mantan tahanan
politik sebenarnya kurang setuju NLD memasukkan wakilnya dalam parlemen, namun
Suu Kyi sendiri yang mengambil inisiatif. Dia menerima kalau perubahan tak
mungkin terjadi tanpa adanya kerjasama dengan militer.
Namun,
Suu Kyi dan NLD menolak dianggap berkompromi. Selama ini, Suu Kyi dan NLD
melihat pemerintah sipil yang baru sudah serius dalam melakukan reformasi. Sejak Maret tahun 2011, pemerintahan
yang baru telah membebaskan ribuan tahanan politik dan menandatangani gencatan
senjata dengan kelompok etnis. Selain itu, pemerintah juga mulai membuka dialog
dengan NLD dan meningkatkan kebebasan pers.
Suu
Kyi juga menilai Presiden Thein Sein, seorang jenderal di junta militer,
sebagai sosok yang jujur dan baik. Tak hanya itu, dia mengaku tidak menyesal
ikut pemilu, karena kampanyenya selama ini berhasil meningkatkan kesadaran
politik warga Myanmar. Dia juga mengaku tidak memiliki rencana menjadi menteri
di pemerintahan sipil yang disokong junta militer. Suu Kyi hanya ingin
melakukan perubahan dengan berjuang sebagai pembuat undang-undang di parlemen. Setelah lebih dari 20 tahun menjadi
tahanan junta militer, tahun ini merupakan kesempatan bagi Suu Kyi untuk
berperan lebih signifikan bagi proses demokratisasi di Myanmar. Walau begitu,
Suu Kyi mengaku ini bukan hal yang mudah.
Setelah pemilihan bersejarahnya ke lembaga
politik, pemimpin oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi selanjutnya
menduduki kursinya di parlemen untuk pertama kalinya pada 23 April 2012.
Pembangkang veteran dari Liga Nasional untuk
Demokrasi (NLD), yang memenangkan 43 kursi pada pemilihan sela 1 April 2012,
akan menjadi kekuatan oposisi utama di parlemen nasional yang didominasi
militer dan sekutu politiknya. Juru bicara NLD, Nyan Win, mengatakan, pemenang
hadiah Nobel Perdamaian itu akan melakukan perjalanan ke ibu kota Naypyidaw
pada 22 April 2012 untuk menghadiri persidangan pertama mejelis rendah pada
hari berikutnya. Parlemen telah memasuki masa reses sejak 23 Maret 2012.
Pemilihan Suu Kyi ke lembaga politik menandai
perubahan besar terbaru di negara yang dulu dikenal sebagai Burma setelah
puluhan tahun kekuasaan militer langsung berakhir tahun lalu. Namun kendati NLD
memenangkan kesemua kursi tersebut, pengaruh mereka di parlemen tetap tidak
signifikan. Pasalnya, kursi mayoritas atau sekitar 440 kursi telah dikuasai
oleh anggota militer, mantan junta.
C. Peran
ASEAN dalam memperjuangkan demokrasi Myanmar
Myanmar merupakan
salah satu negara anggota Association of South East Asia Nations (ASEAN) yang
mulai bergabung sejak tahun 1997. Sebagai salah satu organisasi
internasional-regional, ASEAN tentu tidak mendukung pemerintahan yang
militeristik di negara Myanmar terus berkembang. Masuknya Burma dalam keanggotaan ASEAN pada
1997 tetap tidak mengubah watak otoriter rejim militer. Dunia internasional dengan keras mengutuk perbuatan
pemerintah Burma.
ASEAN memilih jalan lain untuk menyelesaikan dengan prinsip non-interference yang dijunjung
ASEAN lebih menekankan pada pendekatan diplomatik dan kekeluargaan. Pada
pertemuan ASEAN ke 42 di Thailand, PM Thailand menekankan bahwa
pendekatan soft way (ASEAN way) lebih produktif
daripada memberikan sangsi kepada Myanmar. Pendekatan soft way lebih
menitikberatkan pada proses meyakinkan pemerintah berkuasa Myanmar bahwa ASEAN
akan terus mendukung langkah-langkah strategis yang dibutuhkan untuk menekan angka kekerasan yang terjadi. Pendekatan soft
way yang diterapkan ASEAN secara organisatoris terhadap Myanmar tersebut yaitu
pendekatan constructive engagement (keterlibatan konstruktif) yang intinya
adalah upaya untuk membantu menyelesaikan persoalan internal Myanmar dengan
cara-cara ASEAN Way tanpa harus menggunakan kekerasan yaitu menyelesaikan
persoalan secara persuasive dengan melakukan promosi demokrasi dan tidak
menggunakan kekuatan militer atau embargo untuk mengisolasi Myanmar (bambang
cipto, hub internasional di asteng. Yogyakarta:indo:pustaka pelajar, 2007.hal
71) ASEAN sendiri lebih menempatkan diri
sebagai arena/forum untuk mendiskusikan masalah-masalah yang terjadi di dan
bukan sebagai aktor utama yang berhak melakukan tindakan kepada negara
anggotanya. Terlepas dari keterbatasan perannya akan adanya prinsip
non-intervensi ASEAN yang telah dijamin dalam piagam PBB dengan menyebutkan
tidak adanya campur tangan dalam urusan domestic negara yang berdaulat (Aleksandra
m. pohan. Prinsip non-intervensi dalam perspektif ASEAN). Kebijakan
constructive engagement yang dikembangkan sejak tahun1992 ini merupakan
implementasi dari nilai-nilai yang dianut para pembuat kebiajakn ASEAN, yang
menekankan pada consensus dan menghindari konfrontasi dengan dasar semangat
perdamaian, kerja keras dan solideritas. Kebijakan keterlibatan konstruktif
ASEAN ini juga menolak seruan dan usulan tentang sangsi militer ataupun ekonomi
seperti yang ditekankan oleh PBB ataupun uni Eropa dalam mempercepat proses
demokratisasi di suatu negara. Dalam implementasinya, ASEAN lebih memfokuskan
perhatian pada tindakan saling membangun kepercayaan dengan tujuan mendorong
pemerintah Myanmar menyadari manfaat mengintegrasikan diri ke dalam sistem regional
dan arus utama masyarakat internasional. Pada prinsipnya Myanmar menolak
kebijakan constructive engagement yang diterapkan ASEAN dalam rangka mendorong
demokratisasi Myanmar, dengan alasan prinsip non-intervensi yang dianut oleh
ASEAN awal pembentukannya (Kebijakan ASEAN Dalam Mendorong Demokratisasi Di Myanmar
2003-2009. Kompasiana). Meskipun Myanmar menolak adanya intervensi yang berupa
pendekatan keterlibatan kontsruktif, namun Myanmar akhirnya setuju
menandatangani piagam ASEAN yang jelas-jelas menyebutkan bahwa negara anggota
ASEAN harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip ASEAN yang tertuang dalam piagam
ASEAN , salah stunya adalah prinsip demokrasi.
Bentuk support yang dilakukan ASEAN adalah
menggelar The ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC), komisi khusus
yang dibentuk untuk menangani isu Myanmar. Pada pertemuan di Bali, AIPMC
menghimbau Presiden Myanmar Thein Sein untuk melanjutkan tugasnya memajukan
proses demokratisasi dan penegakan Hak Asasi Manusia di Myanmar. “Myanmar harus
mengambil langkah-langkah konkret dan maju menuju perundingan damai dengan
kelompok-kelompok etnis yang bersenjata sebagai prasyarat untuk kemajuan
demokrasi" bunyi pers release pertemuan yang dihelat pada
29 November 2011 tersebut.
Sekjen Asean Surin Pitsuwan, mengatakan
bahwa Myanmar telah menyambut baik tawaran ASEAN untuk mengirimkan tim pemantau
ASEAN selama pemilu yang akan berlangsung di negara itu, April.
Pendekatan soft way yang
diperagakan ASEAN, meskipun pada mulanya banyak dikritik karena dipandang tidak
mampu menekan pemerintahan Myanmar, namun setidaknya memiliki dua impact sekaligus;
mampu membujuk pemerintahan Myanmar untuk mulai bersiap membuka diri terhadap
tuntutan dunia internasional sekaligus tidak sampai menyinggung perasaan
Myanmar dengan memasuki wilayah kedaulatan mereka. Apalagi sejak terjadinya
pergantian kekuasaan dari Junta militer ke pemerintah sipil tahun lalu banyak
memberikan perubahan menggembirakan, seperti serangkaian reformasi ekonomi dan
politik, dilepaskannya tahanan politik, termasuk ikon demokrasi Myanmar, Aung
Saan Suu Kyi.
Dalam isu Myanmar, ASEAN lebih memilih
menempatkan diri sebagai sebuah arena untuk membahas isu-isu yang mengemuka
ketimbang sebagai aktor yang melakukan tindakan secara langsung. Pendekatan
yang dikenal dengan the ASEAN way tersebut memiliki
konsekuensi ganda, yaitu mampu merangkul pemerintah Myanmar untuk melakukan
penegakan HAM dan demokrasi tanpa harus menyinggung mereka dengan melakukan
intervensi langsung terhadap kedaulatan negara.
D.
Kasus
Etnis Rohingya
Etnis Rohingya
merupakan salah satu konflik terbesar dalam sejarah pemerintahan Myanmar,
konflik ini bermula terjadi antara etnis Rohingnya dengan pemerintahan Junta
Militer Myanmar. Pemerintah junta militer tidak menganggap etnis yang berada di
wilayah Rakhine (kediaman penduduk muslim terbesar di Myanmar ini sebagai salah
satu etnis Myanmar dan mendapat tekanan dari pemerintah junta militer, kemudian
etnis Rohingya mengungsi dan melarikan diri
ke Bangladesh dari tekanan pihak junta dan penganut Budha terhadap
mereka. Selain Bangladesh, mereka juga melarikan diri ke Pakistan, Arab Saudi,
UAE, Thailand dan Malaysia untuk berlindung dan sebagian besar dari mereka
masih berstatus pelarian hingga kini.
Penolakan dari
Bangladesh dan negara-negara lain membuat kaum Rohingya kembali ke Myanmar.
Nasib mereka bertambah menderita setelah tahun 1982 pemerintah junta Myanmar
membuat satu undang-undang yang dinamakan Burma
Citizenship Law of 1982. Bentuk-bentuk kekejaman junta militer terhadap
etnik rohingya antara lain:
1.
Muslim Rohingya tidak diakui sebagai warganegara
dan dijuluki sebagai pendatang, hak mereka tidak diakui dan kaum muslim
ditangkap secara besar-besaran, dipukul, disiksa dan dijadikan buruh paksa
serta dilecehkan beramai-ramai dengan cara yang ganas.
2.
Pembatasan untuk berpindah, larangan berpergian
dari satu desa ke desa lain, untuk pergi harus mendapat izin dari otoritas
local yang tidak mungkin diizinkan. Dan mereka tidak diizinkan berpergian
karena dari pihak junta militer menginginkan mereka menjadi pekerja paksa.
3.
Pembatasan dalam kegiatan ekonomi. Pihak junta
militer tidak memberikan izin etnis rohingya mendirikan usaha, menerapkan pajak
yang sangat tinggi pada etnis rohingya yang sebagian besar bekerja sebagai
petani dan nelayan. Jika tidak dapat menbayar pajak barang-barang milik petani
dan nelayan akan disita secara paksa.
4.
Pembatasan dalam bidang pendidikan. Anak-anak
etnis rohingya dilarang masuk ke Universitas yang ada di Myanmar dan melarang
melanjutkan pendidikan tinggi keluar Myanmar.
5.
Pembunuhan, penahanan dan penyiksaan. Semenjak
Myanmar menyerang Arakan pada tahun 1784 M, penduduk Rohingya telah dijadikan
sasaran untuk dihapuskan dan dibunuh secara besar-besaran (genocide). Motif mereka adalah untuk menukar Arakan menjadi satu
wilayah Budha yang berpengaruh di Burma, pemisahan Myanmar dari India-Inggris,
peluang mereka untuk menghapuskan umat islam terbuka luas.
6.
Pelecehan terhadap Kaum wanita dan pembatasan
pernikahan. Pemerkosaan oleh tentara-tentara terhapadat para kaum wanita dan
anak-anaknya, jika melakukan pengaduan kepihak berwajib pengaduan itu hanya
dianggap angin saja. Dan pihak junta mempersulit gadis-gadis rohingya untuk
menikah
7.
Kerusuhan anti Rohingya. Kerusuhan-kerusuhan
yang terjadi di Arakan, pada tahun 1942 terjadi kerusuhan besar oleh penganut
Budha yang terprovokasi oleh pemerintah Myanmar dan menyebabkan 100.000 kaum
muslim dibunuh dan ratusan ribu orang melarikan diri ke Bengal. Pada tahun 1949
terjadi kerusuhan yang dicetuskan oleh Burma Territorial Force (BTF) yang melakukan
keganasan dan pembunuhan atas ribuan Muslim dan ratusan tempat kediaman mereka
dimusnahkan.
BAB III
KESIMPULAN
Myanmar
merupakan salah satu kawasan yang hingga kini dikuasai oleh militer. Setelah
memperoleh kemerdekaan dari Inggris pemerintahan Burma(Myanmar) membentuk
republik dengan Sao Shwe Thaik sebagai presiden dan U Nu sebagai perdana
menteri. Pasca merdeka demokrasi sempat berlangsung di Burma, tetapi berhenti
sejenak tatakala militer yang dipimpin oleh Jendral Ne Win melakukan kudet.
Demokrasi bersemi kembali setelah pemilu 1960 yang dimenagkan oleh U Nu dengan
partai Union Party. Namun razim militer kembali mengemukakan pengambilan
pemerintahan sipil 1962. Keberhasilan kudeta yang dilakukakan oleh Ne Win ini
dapat dikatakan sebagai awal runtuhnya demokrasi di Myanmar. Padahal mayoritas
rakyat Myanmar menghendaki adanya suatu pemerintahan demokrasi.
Masalah yang
terjadi di Myanmar menyedot perhatian dunia Internasional, yang dikarenakan
banyaknya penindasan keras kepada demonstrasi yang menentang pemerintahan.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Junta telah membuat rakyat menjadi
miskin, dan kebijakan domestik Junta telah menciptakan kondisi yang mengancam
ketidakstabilan di wilayah ASEAN yang berujung pada kesinisan sikap
Internasional. Proses percobaan mempengaruhi Junta agar melakukan perubahan
telah dilakukan PBB dan ASEAN.
Pemilihan Suu Kyi
yang merupakan pejuang prodemokrasi di Myanmar ke lembaga politik
menandai perubahan besar terbaru di negara yang dulu dikenal sebagai
Burma setelah puluhan tahun kekuasaan militer langsung berakhir tahun lalu.
Namun kendati NLD memenangkan kesemua kursi tersebut, pengaruh mereka di
parlemen tetap tidak signifikan. Pasalnya, kursi mayoritas atau sekitar 440
kursi telah dikuasai oleh anggota militer, mantan junta.
DAFTAR PUSTAKA
Archibugi, Daniele, (1995) ‘Principles of
Cosmopolitan Democracy’ in Daniele Archibugi and David Helds (eds) Cosmopolitan
Democracy: An Agenda for A New World Order, Polity Press, p.124-140
Thomas, Holli (2004) ‘Cosmopolitan
Sovereignty’, Institute for Citizenship and Globalisation, Paper presented to
the Australian Political Studies Association Conference University of Adelaide,
29th September- 1st October 2004
bambang
cipto, hub internasional di asteng. Yogyakarta:indo:pustaka pelajar, 2007.hal
71
http://indonesiadefenseanalysis.blogspot.com/2011/03/asean-role-in-myanmar.html (Di unduh pada tanggal 15
Mei 2013)
http://newsdawn.blogspot.com/2010/11/aseans-role-in-democratization-of.html (Di unduh pada tanggal 15
Mei 2013)
http://asiancorrespondent.com/70954/asean-urges-monitoring-human-rights-issues-in-burma/ (Di unduh pada tanggal 15
Mei 2013)
http://international.okezone.com/read/2012/02/21/411/579724/sekjen-asean-myanmar-izinkan-kehadiran-tim-pemantau (Di unduh pada tanggal 15
Mei 2013)
ini skripsi kamo ya, luar biasa ya. kamu saat kni bisa kok nulis soal rohingnya. ok sks ya salam anget dariku
BalasHapus