Jumat, 07 Juni 2013

Perjuangan Demokrasi di Myanmar


PERJUANGAN DEMOKRASI MYANMAR “AUNG SAN SUU KYI”


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Myanmar adalah salah satu kawasan yang berada di Asia Tenggara yang hingga kini dikuasai oleh militer. Setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pemerintahan Burma membentuk republik dengan Sao Shwe Thaik sebagai presiden dan U Nu sebagai perdana menteri. Pasca merdeka demokrasi sempat berlangsung di Burma, tetapi berhenti sejenak tatakala militer yang dipimpin oleh Jendral Ne Win melakukan kudeta (1958-1960). Demokrasi bersemi kembali setelah pemilu 1960 yang dimenagkan oleh U Nu dengan partai Union Party. Namun razim militer kembali mengemukakan pengambilan pemerintahan sipil 1962. Keberhasilan kudeta yang dilakukakan oleh Ne Win ini dapat dikatakan sebagai awal runtuhnya demokrasi di Myanmar.
Berbagai kegiatan regresif yang dilakukan oleh Ne Win menyebabkan masalah intern yang harus dihadapi Burma. Sehingga ketidakpuasan masyarakat kepada Junta milliter ini mendorong  lahirnya protes besar 1988. Rakyat menuntut kembalinya demokrasi multipartai dan digantinya pemerintahan. Kemudian Ne Win mundur digantikan oleh Saw Maung. Dengan kekuasaan Saw Maung merencanakan penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota parlemen dengan memberlakukan Undang-Undang Drurat dan membekukan konstitusi 1974. Hasil pemilu tidak di akui oleh militer karena Aung San Suu Kyi yang memenangkannya.
Jendral Saw Maung mundur dan digantikan oleh Than Shwe, Ia mencabut UU Drurat 16 September 1992. Dengan karakteristik pemerintahan yang sama yaitu otoriter, represif dan totaliter. Pengelakkan hasil pemilu dan pengambilalih kekuasaan oleh militer karena ia menganggap prodemokrasi ancaman bagi supremasi militer.
Masalah yang terjadi di Myanmar menyedot perhatian dunia Internasional, yang dikarenakan banyaknya penindasan keras kepada demonstrasi yang menentang pemerintahan. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Junta telah membuat rakyat menjadi miskin, dan kebijakan domestik Junta telah menciptakan kondisi yang mengancam ketidakstabilan di wilayah ASEAN yang berujung pada kesinisan sikap Internasional. Proses percobaan mempengaruhi Junta agar melakukan perubahan telah dilakukan PBB dan ASEAN.
Sejarah kehidupan Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin gerakan demokrasi Mmyanmar. Aung San Suu Kyi lahir pada 19 Juni 1945 di kota Yangoon. Aung San Suu Kyi adalah seorang putri dari pahlawan perjuangan Kemerdekaan Mmyanmar, yaitu Aung San yang tewas beberapa bulan sebelum Myanmar merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Aung San Suu Kyi mengenyam pendidikan di Yangoon sampai tahun 1960. Ketika ibunya Daw Khin Kyi ditunjuk sebagai Dubes untuk India dan kemudian Aung San Suu Kyi melanjutkan pendidikannya di Universitas Delhi, di India. Pada tahun 1964 sampai 1967 ia belajar ilmu filsafat, politik, dan ekonomi di St Hugh’s College, Universitas Oxford di Inggris dan meraih gelar sarjana muda.
Dua tahun setelah meraih gelar sarjananya, Aung San Suu Kyi pergi ke New York untuk bekerja di PBB. Disana Suu Kyi mulai membentuk gagasan politiknya. Pada tahun 1972 Suu Kyi menikah dengan seorang dosen di Oxford yang berasal dari Inggris yaitu Michael Aris, putra pertama Suu Kyi adalah Alexander yang lahir pada tahun 1973, dan putra kedua yang bernama Kim lahir pada tahun 1977. Ketika Aung San Suu Kyi pulang ke Myanmar untuk merawat ibunya yang sakit, Suu Kyi melihat negaranya sedang dilanda gelombang protes terhadap Junta Militer, yang memengang tampuk kekuasaan pada tahun 1962. Demokrasi-demokrasi tersebut makin menyebar ke seluruh Negara Myanmar dan semakin berkembang dengan pesat, Aung San Suu Kyi yang saat itu terkejut melihat keadaan negaranya lalu menulis surat terbuka kepada pemerintah Junta Militer pada tanggal 15 Agustus 1988, dan menawarkan diri untuk membantu sebagai pihak menengah antara pihak militer dengan para mahasiswa. Tawaran tersebut mendapat dukungan dari beberapa pimpinan yang pro militer. Pada tanggal 24 september 1988 Suu Kyi juga ikut dalam mendirikan partai NLD, yang terdiri dari 105 partai oposisi yang menentang pemerintahan Junta Militer. Kemudian Suu Kyi menyampaikan pidato kampanye NLD sebagai bentuk persiapan mengikuti pemilihan umum Nasional pada tahun 1990.
Ditengah-tengah pergolakan politik didalam negeri, setelah partai PPSM yang dibentuk Ne Win menolak untuk mengadakan referendum untuk kelanjutan Negara Myanmar,  rumah Aung San Suu Kyi mengajarkan pada para aktitivis politik. Aung Saan Suu Kyi mengajarkan akan hak asasi manusia. Aksi-aksi demikrasi masa berakhir dengan pertumpahan darah, penguasa melakukan pembantaian sebagai upaya untuk membendung gelombang pemberontakan diseluruh Negara Myanmar. Aung San Suu Kyi tidak dapat melupakan suasana Yangon yang serba mendua, yaitu antara merebaknya harapan sekaligus ketakutan, kegembiraan, dan keputusasan.
            Berdasarkan pendidikan dan kemampuanya menulis, serta pengalamannya di PBB, Jepang, India, dan Negara bagian pegunungan Himalayadan dan pengamatannya di Myanmar, Suu Kyi memberikan komentar dan kritik atas pemerintahan militer dan mengemukakan alternatife untuk kembali kepada gagasan ayahya (Aung San). Aung San Suu Kyi berbekal kecakapannya dan pengalamnnya dibidang politik, Suu Kyi melangkah ke dalam revolusi pada tahun 1988. Aung San Suu Kyi tidak pernah sangsi bahwa rakyat akan cepat menerimanya, karena Suu Kyi diidentifikasikan dengan ayahnya oleh masyarakat. Aung San Suu Kyi menjabarkan gagasan ayahnya ke dalam demokrasi. Pada awalnya Suu Kyi menuntut pembentukan pemerintahan sementara yang adil untuk mengawasi pemilihan umum nasional yang didalam rakyatna bebas untuk membentuk partai, memilih pemimpin dan memperjuangkan kekuasaan. Dengan tajam Aung San Suu Kyi mengencam perlakuan Junta Militer yang menganggu dan menahannya, ketika melakukan perjalanan ke daerah-daerah, dan Suu Kyi menggambarkan pemerintahan tersebut sebagai fasis, dan yang melakukan gangguan terhadap perubahan secara damai. Pada bulan Juni 1989, secara terbuka Suu Kyi menuduh Ne Win sebagai pemimpin dari semua penderitaan rakyat dan orang yang merusak segala sesuatu yang telah direncanakan terhadap orang-orang yang berkuasa dan Ne Win sebagai kekuatan di belakangnya, Aung San Suu Kyi tidak bermagsud untuk memecah belah atau melemahkan pihak militer.
Tuntutan yang sebenarnya baru muncul pada tanggal 19 Juli 1989, didalam peringatan hari martir yang secara tradisional mengenang jasa Aung San dan kabinetnya. Pihak militer telah mengatur upacara tersebut dengan mengundang Aung San Suu Kyi untuk bergabung dengan para pemimpin Negara yang memperingati peristiwa tersebut. Aung San Suu Kyi menolak dan mengatakan bahwa dia ingin menghormati ayahnya dengan caranya sendiri. Dalam menghadapi yang disebabkan oleh serangkaian kejadian  tersebut, Aung San Suu Kyi membatalakan kunjungan upacara peringatan tersebut guna mencegah pertumpahan darah, setelah mengetahui banyak mahasiswa yang menyertainya. Keesokan harinya pada tanggal 20 Juli 1989, pihak Junta Militer menyerang para mahasiswa dan Aung San Suu Kyi dikenai tahanan rumah dan memutuskan hubungan dengan para pengikutnya dan dunia luar. Bahkan mereka juga menahan Tin U selaku ketua partai NLD.
            Kepulangan Aung San Suu Kyi ke Myanmar bersamaan dengan maraknya pemberontakan yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat untuk melawan rezim Junta Militer Ne Win. Aung San Suu Kyi kemudian muncul sebagai tokoh pergerakan rakyat Myanmar meskipun dikenai tahanan rumah pada tahun 1989, namun partai yang didirikan Aung San Suu kyi tetap memenagkan pemilihan umum nasional pada tahun1990. Sejak saat itu, selain pemerintah Junta Militer menolak membebaskan Suu Kyi,pemerintah juga menolak untuk menyerahkan tampuk kekuasaan pada partai yang memenangkan pemilihan umum pada tahun 1990, yaitu partai NLD.
            Tujuh bulan berikutnya Aung San Suu Kyi berkeliling Myanmar yang disebut sebagai “mencoba perairan politik”. Aung San Suu Kyi mengunjungi wilayah Irawadi, Magwe, Mandalay, dan daerah sagaing di Myanmar Hulu, maupun dua kota dibagian Shan dan Mon dimana kekuatan pemberontak mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk menghimpun kekuatan guna melawan Junta Militer.



B.     Rumusan Masalah
1.      Awal mula munculnya pemerintahan Junta Militer di Myanmar?
2.      Bagaimana gerakan perlawanan prodemokrasi (Aung San Suu Kyi)?
3.      Keterlibatan ASEAN dalam menangani masalah di Myanmar?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui awal mula munculnya pemerintahan Junta Militer di Myanmar.
2.      Mengetahui bagaimana gerakan perlawanan prodemokrasi (Aung San Suu Kyi).
3.      Mengetahui keterlibatan ASEAN dalam menangani masalah di Myanmar.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Runtuhnya Demokrasi Myanmar
Pada awalnya Myanmar merupakan negara kolonial Inggris dan Jepang. Selama dijajah Inggris dibawah kepemimpinan Aung San melakukan perlawan kepada Inggris bekerja sama dengan Jepang dengan menggunakan angkatan bersenjata BIA (Burma Independence Amry). Akan tetapi setelah berhasil, Jepang tetap menguasai Myanmar. Kemudian BIA tampil kembali bersama AFPL (Anti Fascist People’s Freendom) dan Inggris melakukan perlawanan mengusi Jepang.
Dengan kekalahan Jepang tentara Inggris mulai mencoba memerintah Myanmar kembali, tapi Inggris tidak berhasil karena memiliki tantangan dari AFPL. AFPL menuntut kemerdekaan kepada Inggris, sehingga pada April 1947 diadakan pemilihan badan legislatif pertama yang dimenangkan oleh Aung San partai AFPL, kemudian Inggris menunjuk jendral Aung San sebagai Perdana Menteri Myanmar. Namun sebelum kemerdekaan tercapai, Aung San dan para pemimpin lainnya terbunuh pada 19 April 1947. Kemudian Inggris menunjuk U Nu Wakil Presiden AFPL sebagai Perdana Menterri Myanmar. Akhirnya Myanmar memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 4 Januari 1948.
Pada awal kepemimpinannya Perdana Menteri U Nu disibukan dengan tantangan dari gerakan komunis dan gereakan bersenjata dan itu semua membuat pemerintahan yang semakin  tak terkendali, karena tidak dapat mengatasi masalah tersebut U Nu mengalihkan kekuasaan kepada pihak militer yang dipimpin oleh jendral Ne Win. Dan Ne Win terpilih menjadi pemimpin kabinet yang baru dan berjanji akan taat pada konstitusi dan demokrasi serta akan melaksanakan pemilu yang bebas dan adil pada tahun 1960.
Setelah mengabdi selama 2 tahun, Jendral Ne Win memenuhi janjianya untuk melaksanakan pemilu pada bulan Februari 1960. Pada pemilu kali ini dimenangkan oleh U Nu kembali dan pada masa kekuasaannya situasi Politik Myanmar masih belum stabil. Keadaan negra yang kacau menjadi peluang Ne Win untuk melakukan kudeta (tanpa darah) yang berlangsung pada 2 Maret 1962. Ne Win melancarkan kudeta pada pemerintahan U Nu dengan bantuan para aparat militer dan sekutunya dengan alasan pemerintah sipil tidak dapat mengendalikan keadaan negara dan tidak dapat memajukan perekonomian. Kemudian Ne Win mendirikan pemerintahan militer otoriter dan memerintah dengan gaya diktator. Rakyat tidak diperkenankan memilih pemimpinnya sendiri karena semua keputusan harus melalui pemerintahan militer di Rangoon. Disinilah awal runtuhnya demokrasi Myanmar.

B.     Gerakan Perlawanan Prodemokrasi (Aung San Suu Kyi)
           
            Kekacauan negara yang terjadi pada masa pemerintahan Ne Win, ketika rakyat merasa perlu adanya kehidupan yang demokratis, mengakibatkan meledaknya gerakan demonstrasi besar-besaran disepanjang tahun 1988. Pengunduran diri Ne Win sebagai pemimpin yang diktator dan terjadinya aksi protes yang meluas di hampir seluruh wilayah Myanmar dan mengakibatkan terbunuhnya ribuan jiwa rakyat Myanmar, menjadi awal bagi Suu Kyi untuk segera melakukan perlawanan terhadap militer dan melakukan perubahan yang berhak didapatkan oleh rakyat Myanmar.
            Aung San Suu Kyi adalah salah satu tokoh prodemokrasi di Myanmar. Putri dari The Founding Father Myanmar Aung San ini telah menjadi tokoh pejuang demokrasi bagi rakyat Myanmar sejak tahun 1988. Sebagai putri dari pahlawan kemerdekaan, Suu Kyi mewariskan keberanian orang tuanya dalam membela dan memajukan bangsanya sampai titik darah penghabisan. Suu Kyi lahir di Yangon, kemudian disebut Rangoon, pada tanggal 19 Juni 1945. Dia dididik di Myanmar dan India, di mana ibunya duta besar, dan kemudian belajar di Oxford dan kemudian bekerja dengan PBB di New York. Pada tahun 1972, ia menikah dengan Michael Aris, seorang akademisi Oxford. Dia tinggal sebagian besar hidupnya di luar negeri sebelum kembali ke rumah keluarga di Yangon Inya Lake pada bulan April 1988 untuk merawat ibunya yang sakit. Kebencian kekuasaan militer mendidih ke dalam protes pro-demokrasi di seluruh negeri. Gagasan-gagasan politiknya bagi perubahan negara tidak jarang menjadikan posisi militer terancam dan menyebabkan dirinya menjadi tahanan politik militer.
            Aksi politik Aung San Suu Kyi untuk pertama kali dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1988 dengan melakukan pidato di lapangan depan Pagoda Shwedagon, Yangoon. Aung San Suu Kyi sangat lantang menyuarakan kebebasan dan demokrasi, sehingga perjuangannya tidak hanya dinilai oleh masyarakat Myanmar, masyarakat intenasional juga memberi perhatian lebih terhadap perjuangannya. Suu Kyi banyak menerima penghargaan dari dunia internasional seperti penghargaan HAM Tharaf, Nobel Perdamaian, dan Simon Bolivar Prize.
            Sejak keterlibatannya dalam NLD sebagai sekretaris jenderal, Suu Kyi mulai berjuang atas nama partai. National League for Democracy (NLD) berdiri dengan tujuan menciptakan pemerintahan yang demokratis dengan cara mengusahakan perubahan sosial dan politik yang terjamin perdamaian, HAM dan kesejahteraan. Suu Kyi dan NLD mulai mendapat perhatian rakyat Mynmar akibat tujuannya untuk memberikan angin demokrasi yang selama ini tidak dipenuhi oleh pemerintahan militer. Perjuangan tokoh-tokoh demokrasi di dalam NLD menjadikan NLD sebagai partai paling populer di Myanmar. Namun kediktatoran militer menjadi penghalang bagi NLD dalam mencapai tujuannya.
            Pada penyelenggaraan pemilu multipartai tahun 1990, sebenarnya NLD lah yang menjadi pemenang, namun pemerintah militer dalam naungan SLORC tidak mengakui kemenangan NLD tesebut karena berbagai alasan. Alasanya karena Aung San Suu Kyi terlalu lama tinggal di Amerika dan memiliki suami berkewarganegaraan Amerika. Setelah itu Aung San Suu Kyi dan sejumlah besar anggota NLD pun menjadi tahanan politik karena menyerukan boikot nasional terhadap proses ekonomi. Baru pada 10 Juli 1995, Aung San Suu Kyi dan tokoh NLD lainnya dibebaskan dan diperbolehkan melakukan aktifitas kembali namun tetap berada di bawah kepemimpinan Aung Shwe yang merupakan anggota militer yang ditunjuk SLORC.
            Namun kebebasan yang dirasakan Aung San Suu Kyi dan anggota NLD yang lain hanya bersifat sementara. Pada 30 Mei 2003 Suu Kyi yang dinilai sebagai ancaman bagi supremasi militer kembali berstatus sebagai tahanan rumah dan baru dibebaskan pada 13 November 2010.
Myanmar kembali menggelar pemilihan umum, Minggu, 1 April 2012. Ini merupakan momen bersejarah bagi negara yang dikuasai junta militer selama puluhan tahun dan ini merupakan pemilu ketiga negara yang dikuasai junta militer itu dalam setengah abad. Karena itu. pemilu ini dinilai sebagai hal penting terhadap proses demokratisasi di Myanmar, terutama bagi Aung San Suu Kyi yang berusaha meyakinkan dunia Barat untuk mengakhiri sanksi terhadap Myanmar.
Perhatian dunia pun mengarah ke tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi. Dengan mencalonkan diri sebagai anggota parlemen untuk pertama kalinya, ini merupakan debut kembalinya Suu Kyi di dunia politik, setelah menjadi tahanan rumah selama lebih dari 20 tahun oleh junta militer. Warga pun berkerumun di tempat pemungutan suara dan terlihat sangat antusias. Seperti yang terlihat di salah satu sekolah di Waithinkha, kota Kawhmu. Sebelum pemilu berlangsung, ratusan warga sudah memadati lokasi pemungutan suara dan memastikan nama mereka terdaftar. Ikut sertanya Suu Kyi dalam pemilu parlemen ini juga menambah antusiasme warga dalam mengikuti pemilu.
Pemilu ini dinilai sejumlah kalangan sebagai langkah penting dalam proses demokratisasi di Myanmar. Proses ini sebenarnya sudah mulai terlihat ketika di November 2010, Myanmar menggelar pemilu demokratis pertama dalam 20 tahun terakhir. Tapi saat itu, partai yang dipimpin Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), memboikot pemilu yang dianggap tidak akan melakukan perubahan. Sebenarnya, sejumlah pesimisme juga berhembus di pemilu tahun ini. Sebab, kendati NLD memenangkan semua kursi parlemen yang diperebutkan (45 kursi), pengaruh mereka tetap tidak akan signifikan. Ini disebabkan kursi mayoritas atau sekitar 440 kursi telah dikuasai oleh anggota militer dan mantan junta.
Kritik pun juga dilontarkan terhadap Suu Kyi. Walau diyakini memperoleh banyak dukungan, tapi Peraih Nobel Perdamaian ini dianggap berkompromi dengan pemerintah yang masih memiliki pengaruh dari junta militer. Win Tin, salah seorang mantan tahanan politik sebenarnya kurang setuju NLD memasukkan wakilnya dalam parlemen, namun Suu Kyi sendiri yang mengambil inisiatif. Dia menerima kalau perubahan tak mungkin terjadi tanpa adanya kerjasama dengan militer.
Namun, Suu Kyi dan NLD menolak dianggap berkompromi. Selama ini, Suu Kyi dan NLD melihat pemerintah sipil yang baru sudah serius dalam melakukan reformasi. Sejak Maret tahun 2011, pemerintahan yang baru telah membebaskan ribuan tahanan politik dan menandatangani gencatan senjata dengan kelompok etnis. Selain itu, pemerintah juga mulai membuka dialog dengan NLD dan meningkatkan kebebasan pers.
Suu Kyi juga menilai Presiden Thein Sein, seorang jenderal di junta militer, sebagai sosok yang jujur dan baik. Tak hanya itu, dia mengaku tidak menyesal ikut pemilu, karena kampanyenya selama ini berhasil meningkatkan kesadaran politik warga Myanmar. Dia juga mengaku tidak memiliki rencana menjadi menteri di pemerintahan sipil yang disokong junta militer. Suu Kyi hanya ingin melakukan perubahan dengan berjuang sebagai pembuat undang-undang di parlemen. Setelah lebih dari 20 tahun menjadi tahanan junta militer, tahun ini merupakan kesempatan bagi Suu Kyi untuk berperan lebih signifikan bagi proses demokratisasi di Myanmar. Walau begitu, Suu Kyi mengaku ini bukan hal yang mudah.
Setelah pemilihan bersejarahnya ke lembaga politik, pemimpin oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi selanjutnya menduduki kursinya di parlemen untuk pertama kalinya pada 23 April 2012. Pembangkang veteran dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang memenangkan 43 kursi pada pemilihan sela 1 April 2012, akan menjadi kekuatan oposisi utama di parlemen nasional yang didominasi militer dan sekutu politiknya. Juru bicara NLD, Nyan Win, mengatakan, pemenang hadiah Nobel Perdamaian itu akan melakukan perjalanan ke ibu kota Naypyidaw pada 22 April 2012 untuk menghadiri persidangan pertama mejelis rendah pada hari berikutnya. Parlemen telah memasuki masa reses sejak 23 Maret 2012.
Pemilihan Suu Kyi ke lembaga politik menandai perubahan besar  terbaru di negara yang dulu dikenal sebagai Burma setelah puluhan tahun kekuasaan militer langsung berakhir tahun lalu. Namun kendati NLD memenangkan kesemua kursi tersebut, pengaruh mereka di parlemen tetap tidak signifikan. Pasalnya, kursi mayoritas atau sekitar 440 kursi telah dikuasai oleh anggota militer, mantan junta.

C.    Peran ASEAN dalam memperjuangkan demokrasi Myanmar

Myanmar merupakan salah satu negara anggota Association of South East Asia Nations (ASEAN) yang mulai bergabung sejak tahun 1997. Sebagai salah satu organisasi internasional-regional, ASEAN tentu tidak mendukung pemerintahan yang militeristik di negara Myanmar terus berkembang. Masuknya Burma dalam keanggotaan ASEAN pada 1997 tetap tidak mengubah watak otoriter rejim militer. Dunia internasional dengan keras mengutuk perbuatan pemerintah Burma.
ASEAN memilih jalan lain untuk menyelesaikan dengan prinsip non-interference yang dijunjung ASEAN lebih menekankan pada pendekatan diplomatik dan kekeluargaan. Pada pertemuan ASEAN ke 42 di Thailand, PM Thailand menekankan bahwa pendekatan soft way (ASEAN way) lebih produktif daripada memberikan sangsi kepada Myanmar. Pendekatan soft way lebih menitikberatkan pada proses meyakinkan pemerintah berkuasa Myanmar bahwa ASEAN akan terus mendukung langkah-langkah strategis yang dibutuhkan untuk menekan angka kekerasan yang terjadi. Pendekatan soft way yang diterapkan ASEAN secara organisatoris terhadap Myanmar tersebut yaitu pendekatan constructive engagement (keterlibatan konstruktif) yang intinya adalah upaya untuk membantu menyelesaikan persoalan internal Myanmar dengan cara-cara ASEAN Way tanpa harus menggunakan kekerasan yaitu menyelesaikan persoalan secara persuasive dengan melakukan promosi demokrasi dan tidak menggunakan kekuatan militer atau embargo untuk mengisolasi Myanmar (bambang cipto, hub internasional di asteng. Yogyakarta:indo:pustaka pelajar, 2007.hal 71) ASEAN sendiri lebih menempatkan diri sebagai arena/forum untuk mendiskusikan masalah-masalah yang terjadi di dan bukan sebagai aktor utama yang berhak melakukan tindakan kepada negara anggotanya. Terlepas dari keterbatasan perannya akan adanya prinsip non-intervensi ASEAN yang telah dijamin dalam piagam PBB dengan menyebutkan tidak adanya campur tangan dalam urusan domestic negara yang berdaulat (Aleksandra m. pohan. Prinsip non-intervensi dalam perspektif ASEAN). Kebijakan constructive engagement yang dikembangkan sejak tahun1992 ini merupakan implementasi dari nilai-nilai yang dianut para pembuat kebiajakn ASEAN, yang menekankan pada consensus dan menghindari konfrontasi dengan dasar semangat perdamaian, kerja keras dan solideritas. Kebijakan keterlibatan konstruktif ASEAN ini juga menolak seruan dan usulan tentang sangsi militer ataupun ekonomi seperti yang ditekankan oleh PBB ataupun uni Eropa dalam mempercepat proses demokratisasi di suatu negara. Dalam implementasinya, ASEAN lebih memfokuskan perhatian pada tindakan saling membangun kepercayaan dengan tujuan mendorong pemerintah Myanmar menyadari manfaat mengintegrasikan diri ke dalam sistem regional dan arus utama masyarakat internasional. Pada prinsipnya Myanmar menolak kebijakan constructive engagement yang diterapkan ASEAN dalam rangka mendorong demokratisasi Myanmar, dengan alasan prinsip non-intervensi yang dianut oleh ASEAN awal pembentukannya (Kebijakan ASEAN Dalam Mendorong Demokratisasi Di Myanmar 2003-2009. Kompasiana). Meskipun Myanmar menolak adanya intervensi yang berupa pendekatan keterlibatan kontsruktif, namun Myanmar akhirnya setuju menandatangani piagam ASEAN yang jelas-jelas menyebutkan bahwa negara anggota ASEAN harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip ASEAN yang tertuang dalam piagam ASEAN , salah stunya adalah prinsip demokrasi.
Bentuk support yang dilakukan ASEAN adalah menggelar The ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC), komisi khusus yang dibentuk untuk menangani isu Myanmar. Pada pertemuan di Bali, AIPMC menghimbau Presiden Myanmar Thein Sein untuk melanjutkan tugasnya memajukan proses demokratisasi dan penegakan Hak Asasi Manusia di Myanmar. “Myanmar harus mengambil langkah-langkah konkret dan maju menuju perundingan damai dengan kelompok-kelompok etnis yang bersenjata sebagai prasyarat untuk kemajuan demokrasi" bunyi pers release pertemuan yang dihelat pada 29 November 2011 tersebut.
Sekjen Asean Surin Pitsuwan, mengatakan bahwa Myanmar telah menyambut baik tawaran ASEAN untuk mengirimkan tim pemantau ASEAN selama pemilu yang akan berlangsung di negara itu, April.
Pendekatan soft way yang diperagakan ASEAN, meskipun pada mulanya banyak dikritik karena dipandang tidak mampu menekan pemerintahan Myanmar, namun setidaknya memiliki dua impact sekaligus; mampu membujuk pemerintahan Myanmar untuk mulai bersiap membuka diri terhadap tuntutan dunia internasional sekaligus tidak sampai menyinggung perasaan Myanmar dengan memasuki wilayah kedaulatan mereka. Apalagi sejak terjadinya pergantian kekuasaan dari Junta militer ke pemerintah sipil tahun lalu banyak memberikan perubahan menggembirakan, seperti serangkaian reformasi ekonomi dan politik, dilepaskannya tahanan politik, termasuk ikon demokrasi Myanmar, Aung Saan Suu Kyi.
Dalam isu Myanmar, ASEAN lebih memilih menempatkan diri sebagai sebuah arena untuk membahas isu-isu yang mengemuka ketimbang sebagai aktor yang melakukan tindakan secara langsung. Pendekatan yang dikenal dengan the ASEAN way tersebut memiliki konsekuensi ganda, yaitu mampu merangkul pemerintah Myanmar untuk melakukan penegakan HAM dan demokrasi tanpa harus menyinggung mereka dengan melakukan intervensi langsung terhadap kedaulatan negara.


D.    Kasus Etnis Rohingya
Etnis Rohingya merupakan salah satu konflik terbesar dalam sejarah pemerintahan Myanmar, konflik ini bermula terjadi antara etnis Rohingnya dengan pemerintahan Junta Militer Myanmar. Pemerintah junta militer tidak menganggap etnis yang berada di wilayah Rakhine (kediaman penduduk muslim terbesar di Myanmar ini sebagai salah satu etnis Myanmar dan mendapat tekanan dari pemerintah junta militer, kemudian etnis Rohingya mengungsi dan melarikan diri  ke Bangladesh dari tekanan pihak junta dan penganut Budha terhadap mereka. Selain Bangladesh, mereka juga melarikan diri ke Pakistan, Arab Saudi, UAE, Thailand dan Malaysia untuk berlindung dan sebagian besar dari mereka masih berstatus pelarian hingga kini.
Penolakan dari Bangladesh dan negara-negara lain membuat kaum Rohingya kembali ke Myanmar. Nasib mereka bertambah menderita setelah tahun 1982 pemerintah junta Myanmar membuat satu undang-undang yang dinamakan Burma Citizenship Law of 1982. Bentuk-bentuk kekejaman junta militer terhadap etnik rohingya antara lain:
1.      Muslim Rohingya tidak diakui sebagai warganegara dan dijuluki sebagai pendatang, hak mereka tidak diakui dan kaum muslim ditangkap secara besar-besaran, dipukul, disiksa dan dijadikan buruh paksa serta dilecehkan beramai-ramai dengan cara yang ganas.
2.      Pembatasan untuk berpindah, larangan berpergian dari satu desa ke desa lain, untuk pergi harus mendapat izin dari otoritas local yang tidak mungkin diizinkan. Dan mereka tidak diizinkan berpergian karena dari pihak junta militer menginginkan mereka menjadi pekerja paksa.
3.      Pembatasan dalam kegiatan ekonomi. Pihak junta militer tidak memberikan izin etnis rohingya mendirikan usaha, menerapkan pajak yang sangat tinggi pada etnis rohingya yang sebagian besar bekerja sebagai petani dan nelayan. Jika tidak dapat menbayar pajak barang-barang milik petani dan nelayan akan disita secara paksa.
4.      Pembatasan dalam bidang pendidikan. Anak-anak etnis rohingya dilarang masuk ke Universitas yang ada di Myanmar dan melarang melanjutkan pendidikan tinggi keluar Myanmar.
5.      Pembunuhan, penahanan dan penyiksaan. Semenjak Myanmar menyerang Arakan pada tahun 1784 M, penduduk Rohingya telah dijadikan sasaran untuk dihapuskan dan dibunuh secara besar-besaran (genocide). Motif mereka adalah untuk menukar Arakan menjadi satu wilayah Budha yang berpengaruh di Burma, pemisahan Myanmar dari India-Inggris, peluang mereka untuk menghapuskan umat islam terbuka luas.
6.      Pelecehan terhadap Kaum wanita dan pembatasan pernikahan. Pemerkosaan oleh tentara-tentara terhapadat para kaum wanita dan anak-anaknya, jika melakukan pengaduan kepihak berwajib pengaduan itu hanya dianggap angin saja. Dan pihak junta mempersulit gadis-gadis rohingya untuk menikah
7.      Kerusuhan anti Rohingya. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Arakan, pada tahun 1942 terjadi kerusuhan besar oleh penganut Budha yang terprovokasi oleh pemerintah Myanmar dan menyebabkan 100.000 kaum muslim dibunuh dan ratusan ribu orang melarikan diri ke Bengal. Pada tahun 1949 terjadi kerusuhan yang dicetuskan oleh Burma Territorial Force (BTF) yang melakukan keganasan dan pembunuhan atas ribuan Muslim dan ratusan tempat kediaman mereka dimusnahkan.


BAB III
KESIMPULAN

Myanmar merupakan salah satu kawasan yang hingga kini dikuasai oleh militer. Setelah memperoleh kemerdekaan dari Inggris pemerintahan Burma(Myanmar) membentuk republik dengan Sao Shwe Thaik sebagai presiden dan U Nu sebagai perdana menteri. Pasca merdeka demokrasi sempat berlangsung di Burma, tetapi berhenti sejenak tatakala militer yang dipimpin oleh Jendral Ne Win melakukan kudet. Demokrasi bersemi kembali setelah pemilu 1960 yang dimenagkan oleh U Nu dengan partai Union Party. Namun razim militer kembali mengemukakan pengambilan pemerintahan sipil 1962. Keberhasilan kudeta yang dilakukakan oleh Ne Win ini dapat dikatakan sebagai awal runtuhnya demokrasi di Myanmar. Padahal mayoritas rakyat Myanmar menghendaki adanya suatu pemerintahan demokrasi.
Masalah yang terjadi di Myanmar menyedot perhatian dunia Internasional, yang dikarenakan banyaknya penindasan keras kepada demonstrasi yang menentang pemerintahan. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Junta telah membuat rakyat menjadi miskin, dan kebijakan domestik Junta telah menciptakan kondisi yang mengancam ketidakstabilan di wilayah ASEAN yang berujung pada kesinisan sikap Internasional. Proses percobaan mempengaruhi Junta agar melakukan perubahan telah dilakukan PBB dan ASEAN.
Pemilihan Suu Kyi yang merupakan pejuang prodemokrasi di Myanmar  ke lembaga politik menandai perubahan besar  terbaru di negara yang dulu dikenal sebagai Burma setelah puluhan tahun kekuasaan militer langsung berakhir tahun lalu. Namun kendati NLD memenangkan kesemua kursi tersebut, pengaruh mereka di parlemen tetap tidak signifikan. Pasalnya, kursi mayoritas atau sekitar 440 kursi telah dikuasai oleh anggota militer, mantan junta.


DAFTAR PUSTAKA

Archibugi, Daniele, (1995) ‘Principles of Cosmopolitan Democracy’ in Daniele Archibugi and David Helds (eds) Cosmopolitan Democracy: An Agenda for A New World Order, Polity Press, p.124-140
Thomas, Holli (2004) ‘Cosmopolitan Sovereignty’, Institute for Citizenship and Globalisation, Paper presented to the Australian Political Studies Association Conference University of Adelaide, 29th September- 1st October 2004
bambang cipto, hub internasional di asteng. Yogyakarta:indo:pustaka pelajar, 2007.hal 71

1 komentar:

  1. ini skripsi kamo ya, luar biasa ya. kamu saat kni bisa kok nulis soal rohingnya. ok sks ya salam anget dariku

    BalasHapus

 

Blogger news

Blogroll