Senin, 23 Juni 2014

KONFLIK INTERNAL (PERANG SAUDARA) DI SUDAN (Sudan Selatan dan Darfur)


Pendahuluan
Konflik internal hampir terjadi di seluruh negara di dunia. Dan penyebab konflik biasanya karena adanya suatu perbedaan dan diskriminasi. Begitu pula yang terjadi di Sudan, setelah merdeka pada 1 Januari 1956, negara besar ini tak pernah lepas dari konflik internal perebutan kekuasaan.
Mulai dari konflik agama, dimana kenyataan yang kita ketahui bahwa semua agama yang berada di dunia mengajarkan pada setiap umatnya untuk selalu saling menghormati antar pemeluk agama. Namun kenyataan yang terjadi di Sudan, agama sering dijadikan dalih untuk membantai pemeluk agama yang lain. Konflik lain yang biasa terjadi di Sudan adalah konflik kesukuan atau ras, konflik ini tidak jauh berbeda dengan konflik antar agama yang sering terjadi di berbagai negara dalam Afrika. Eksistensi dari berbagai suku dalam sebuah negara cenderung menghasilkan sebuah suku diabaikan, atau tidak diberikan pelayanan publik yang sama dengan suku lainnya dan munculah diskriminasi pada suatu suku. Konflik lainnya disebabkan karena kudeta yang dilakukan oleh pemerintah Sudan hanya untuk suatu jabatan atau kekuasaan. Dan politik negara Sudan diwarnai dengan ketidakadilah yang memicu munculnya konflik-konflik internal di Sudan.
Dan karena situasi dan kondisi yang terjadi di Sudan, dalam tulisan ini saya akan membahas lebih lanjut tentang konflik internal yang terjadi di Sudan. Secara umum konflik internal yang terjadi di Sudan itu ada dua konflik yang sangat berpengaruh yaitu yang pertama konflik antara Sudan Utara dengan Sudan Selatan dan yang kedua konflik di Darfur.

Konflik antara Sudan Utara dan Sudan Selatan
Perang sipil Tahap 1 (1955-1972)
Konflik Sudan bagian pertama antara tahun 1955-1972. Awal dari konflik ini terjadi pada penjajahan Inggris di Sudan yang saat itu membagi Sudan menjadi 2 wilayah sesuai dengan persebaran peduduk di Sudan, daerah utara berpenduduk etnis Arab yang mayoritas beragama Islam dan sedangkan daerah selatan didominasi oleh etnis kulit hitam Afrika dan beragama nasrani. Setelah itu Inggris menginginkan Sudan Utara dan Sudan Selatan disatulan dalam satu pemerintahan yang berpusat di kota Kartoum di Sudan Utara. Dari pihak Sudan Selatan menghawatirkan terjadinya ketidakadilan dan hal tersebut terbukti, di dalam birokrat dari 800 kursi hanya 6 kursi orang dari Sudan Selatan.
Pada awalnya terjadi beberapa konflik-konflik sipil yang berskala kecil di Sudan Selatan namun setelah tahun 1962 anggota korps ekuatorial dan pelajar-pelajar Sudan Selatan bersatu dan membentuk kelompok pemberontak baru yang bernama Anyanya. Dan dengan Anyanya yang juga dibantu persenjataan dari bangsa asing seperti Israel dan Uni Soviet membuat konflik semakin memanas anatar Sudan Utara dan Sudan Selatan. Sudan menggunakan kekuatan militer untuk melawan pemberontakan dari Sudan Selatan, namun Sudan tidak dapat mengendalikan kekuatan militernya dan mengakibatkan terjadinya kudeta militer yang berlanjut dengan kudeta pemerintahan lainnya.
Tahun 1971 Joseph Lagu (mantan letnan Sudan) membentuk kelompok baru yaitu Southerm Sudan Liberation Movement (SSLM). Pemberontakan SSLM ini juga merupakan gabungan dari Anyanya dan mendapat dukungan dari seluruh politikus di Sudan Selatan sehingga dengan adanya SSLM ini dapat menampung seluruh kepentingan bersama. Walaupun seluruh rakyat Sudan Selatan melakukan gerilya untuk menyerang Sudan tetapi hal tersebut tidak dapat menyatukan Sudan Selatan secara utuh karena ada konflik-konflik antar etnis setempat.
Lepas dari masih berjalannya konflik antara pemerintah Sudan melawan gerilya pemberontak Sudan Selatan, pembicaraan damai untuk mengakhiri perang sipil Sudan terus berjalan. Hasilnya melalui perjanjian yang difasilitasi oleh kaisar Ethiopia, Haile selassie, pihak pemerintah Sudan yang dipimpin oleh Gaafar Nimeiry dan kubu SSLM pun bersepakat untuk berhenti berperang melalui apa yang dikenal sebagai Perjanjian Addis Ababa pada tanggal 27 Maret 1972. Beberapa poin penting dari perjanjian tersebut adalah pembentukan pemerintah otonom tunggal yang mengontrol seluruh wilayah Sudan Selatan, pendirian Konsul Eksekutif Tinggi untuk mengurusi masalah tata daerah Sudan Selatan dan bahasa Inggris sebagai bahasa pokok Sudan Selatan. Perang sipilpun dapat berakhir tapi sementara waktu.
Perang Sipil tahap 2 (1983-2005)
Perdamain diantara keduanya itu tidak berjalan lama. Pada tahun 1983 setelah presiden Nimeiry ingin menerapkan sistem hukum Islam di Sudan dan orang-orang Sudan Selatan pun tidak setuju karena kebnyakan dari mereka beragama Non-Islam. Dan kolonel Jonh Garang membuat pasukan bersenjata yang bernama Sudan People’s Liberation Army (SPLA), dan tentara pembebasan rakyat Sudan yang diberi nama Sudan People’s Liberation Movement (SPLM). Kemudian pada tahun 1986 Nimery diberhentikan. Setelah itu SPLA mulai melakukan perundingan perdamaian dengan Sudan dan SPLA akan mengehentikan genjatan senjata jika Sudan tidak menerapkan hukum islan di sana. Pada tahun 1989 muncul kudeta militer dari kelompok yang beraliran religius National Islamic Front (NIF) dan NIF adalah pemerintahan baru yang memimpin Sudan. Dan melanjutkan perundingan dengan SPLA namun tidak menyetujui persyaratan SPLA. Setelah itu SPLA mencari dukungan di Sudan Selatan dan memperkuat persenjataan dan militernya.
Namun kemudian SPLA terpecah menjadi 2 dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh pemerintah Sudan yang dibantu oleh orang-orang yang pro pemerintah dan mampu merebut kembali benteng penting SPLA dikota Torit 1992. Pada tahun 1995 muncul kelompok anti pemerintah yang disebut National Democratic Alliance (NDA) yang beranggotakan partai-partai oposisi dan orang-orang Sudan Utara yang tidak menyukai pemerintah. Dengan demikian ada 3 kubu dalam konflik di Sudan kali ini yaitu Pemerintah Sudan, SPLA, dan NDA.
Kemudian pada tahun 2002 genjatan senjata oleh SPLA berhasil dilakukan dan kembali pada masa damai. Dan usaha untuk menjalin perjanjian damaipun berusaha dilakukan. Kemudian terbentuklah perjanjian damai pada tahun 2005 di Nairobi, Kenya, Afrika Timur. Ada beberapa point penting dari isi perjanjian tersebut yaitu referendum akan dilakukan pada tahun 2011 untuk menentukan apakah wilayah tersebut  tetap wilayah Sudan atau merdeka, pembagian hasil penjualan minyak akan dibagi rata antar wilayah Utara dan Selatan, dan Sudan Selatan tidak lagi diwajibkan menerapkan hukum Islam. Dicapainya perjanjian damai tersebut sekaligus mengakhiris konflik internal di Sudan.
Perang sipil Sudan adalah perang sipil terpanjang di Afrika bahkan mungkin dunia karena jika waktu berlangsungnya diakumulasi, perang ini berlangsung selama 40 tahun lebih. Akibat perang ini, lebih dari 2 juta rkayat Sudan harus kehilangan nyawa, sementara jumlah mereka yang harus kehilangan harta benda dan tempat tinggal juga tak kalah banyak. Selama konflik, kedua belah oihak juga dilaporkan merekrut anak-anak sebagai tentara. Menyususn perjanjian damai yang dicapai tahun 2005, muncul perintah untuk mengeluarkan anak-anak tersebut dari ketentaraan dan mengirim mereka kembali ketempat asalnya.
Pada 9 Januari 2011, referendum untuk menentukan nasib Sudan Selatan akan dilaksanakan. Dan hasil dari referendum tersebut adalah 90% dari rakyat Sudan Selatan menginginkan kemerdekaan. Kemudian pada 9 Juli 2011 Sudan Selatan di merdekakan sebagai negara republik dengan Salva Kiir sebagai presidennya. Masalah yang dihadapi Sudan Selatan adalah masih belum stabilnya keamanan setempat akibat konflik-konflik kecil yang masih terjadi. Dan yang harus dikhawatirkan Sudan Selatan adalah masalah menjaminnya keamanan dan kemakmuran rakyat.
Konflik di Darfur
Darfur merupakan provinsi di barat Sudan di mana tiga kelompok etnis mendominasi daerah dan mayoritas orang muslim. Sebagian besar penduduknya adalah petani Arab berkulit hitam yang nomaden. Adanya perbedaan etnik, menyebabkan terjadinya konflik antara Sudan Arab dan Afrika hitam. Hal itu terjadi karena populasi di Darfur terdiri dari beberapa suku yang semuanya bekerja sebagai petani dan pengembala unta serta sapi. Mayoritas suku yang bekerja sebagai petani adalah suku Fur dan Masalit, dan mayoritas suku yang bekerja sebagai pengembala adalah suku Zaghawa, Baqqaram dan Abbala. Iklim yang ekstrim di Darfur menciptakan suku-suku ini harus belajar untuk berbagi air dan tanah untuk perternakan dan pertanian mereka.
Pada awal tahun 1980-an, terjadinya kekeringan parah yang menyebabkan ketidakstabilan di Darfur. Keterlibatan Libya juga mengakibatkan arus masuk senjata kecil ke Darfur. Ini adalah unsur utama letusan kekerasan di Darfur yang pada awalnya konflik di Dafur hanyalah konflik kecil antar etnik. Pada pertengahan 1987, perang pecah antara Fur dan nomaden Arab, yang dimana pada saat itu Tentara Sudan memberikan nomaden Arab persenjataan dan kuda layaknya “para ksatria” yang disebut dengan Janjaweed, kemudian mulai menyerang petani desa. Ini juga pertama kalinya kata Janjaweed digunakan untuk menggambarkan milisi Arab. Dengan diabaikannya situasi ini oleh pemerintah pusat, perang terus berlanjut sampai Mei 1989.
Sejak Sudan memperoleh kemerdekaannya, Darfur secara politik dan ekonomi termajinalkan oleh pemerintah pusat. Sejumlah kaum terpelajar Darfur membentuk suatu pergerakan politik di tahun 1960-an untuk memperjuangkan Darfur sejajar dengan yang lain. Terkait dengan hal ini, pada akhir tahun 1980-an suku-suku petani disana seperti Fur dan Masalit menghadapi konflik tidak hanya dengan suku Arab namun juga dengan pemerintah pusat. Sebagai akibatnya, suku-suku Afrika (Fur, Masalit, dan Zaghawa) ini membentuk kelompok perlawanan yang bersenjata di akhir tahun 1990-an dan di tahun 2001 mereka melancarkan serangan terhadap gedung-gedung kepolisian dan markas tentara.
Di pihak lain, para milisi dari etnik Fur, Zaghawa dan Massalit pada 2001 bergabung dalam satu gerakan pemberontakan terhadap pemerintah yang telah semena-mena dan memarjinalkan mereka. Mereka mendapatkan latihan militer dari kelompok Zaghawa, yang sebelumnya telah mendapat latihan dari tentara Sudan dan Chad. Mereka mempersenjatai diri, dengan senjata-senjata yang dibeli/diselundupkan dari Chad dan Libya. Maka konflik antarmilisi pun makin sering dan berskala lebih besar. Gerakan itu kemudian menamakan diri sebagai Darfur Liberation Front (DLF). Kemudian DLF melancarkan serangan ke instalasi militer dan pemerintahan di Golo, Jabal Marra, Darfur, kemudian mengganti namanya menjadi Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A) yang dipimpin oleh Abdel Wahid. Mereka menginginkan Sudan menjadi negara kesatuan yang berdasarkan sekularisme secara konstitusionanl dan berdasarkan demokrasi perwakilan yang adil, penghormatan terhadap HAM dan keadilan sosial yang merata. Sedangkan Pemberontak Sudan Selatan (SPLM/A) menginginkan Sudan Baru yang terdiri dari dua wilayah yaitu wilayah Utara yang berdasarkan syariat Islam dan Wilayah Selatan yang berdasarkan Sekularisme atau memisahkan diri dari Sudan berdasarkan self-determination. Meskipun hasil pertemuan itu tidak diumumkan, namun orang dapat mengasumsikan bahwa antara gerakan di Sudan Selatan dan gerakan di Darfur paling tidak terdapat penyamaan visi.
Pada tahun 2002, ketiga suku ini memutuskan untuk bergabung dengan kelompok pemberontakan yaitu Pasukan Pembebasan Sudan atau Sudan Liberation Army (SLA) atau Jaisy Tahrir al-Sudan dan Gerakan Keadilan Persamaan atau The Justice and Equality Movement (JEM) atau Jaisy Tahrir al-Sudan. Dan pada tanggal 25 April 2003, serangan terhadap Bandar Udara El-Fasher dinilai sebagai titik dimulainya dari perang saudara di Darfur ini.
Semenjak Oktober 2003, Janjaweed merubah fokus kampanyenya memerangi para pemberontak menjadi penargetan para warga sipil. Dengan menyerang dan menggusur warga sipil yang dimana dilakukan didaerah yang merupakan pusat para pemberontak. Penyerangan ini dilakukan dengan peluncuran bom-bom dari pesawat militer dan diikuti dengan menghujani peluru lewat helikopter, kemudian Janjaweed memasuki desa-desa dengan berjalan kaki, menunggangi kuda atau unta, dan mobil, untuk menjarah, memperkosa, dan membunuh. Kerap kali desa-desa tersebut dibakar untuk mencegah para penduduk kembali lagi.
Pertemuan yang dilakukan Nahar dan Massar dengan SLM/A pada bulan Juni 2003, namun pemberontak itu baru mau melakukan perundingan damai, apabila mereka diakui secara politis dengan menghentikan tuduhan sebagai pemberontak dan melucuti senjata Janjawaheed, namun persyaratan yang diajukan oleh pemberontak itu tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah Sudan. Upaya perdamaian yang lebih berarti dilakukan oleh Presiden Chad, Idris Deby, karena merasa hutang budi kepada Sudan atas dukungannya dan suku Zaghawa dalam menumbangkan kekuasaan Rezim Hussein Habre di Chad. Ia bertindak selaku mediator antara SLM/A dan JEM dengan pemerintah Sudan, yang dihadiri oleh pengamat dari AS, UE, UA dan utusan khusus dari PBB di N’jamena pada bulan Maret 2004. Perjanjian ini membentuk kesepakatan gencatan senjata dan bertugas untuk mengatur dan mengawasi perdamaian selama 45 hari antara pihak – pihak yang bertikai. Kemudian peran mediasi yang dilakukan oleh Chad digantikan oleh Uni Afrika dengan membentuk Komisi Gabungan Gencatan Senjata, yang telah berhasil meletakan dasar penting bagi proses selanjutnya.
Keterlibatan PBB di Darfur dimulai ketika terjadi krisis kemanusian di Darfur pada tahun 2003 akibat dari tindakan Janjaweed terhadap penduduk sipil yang dituduh membantu pemberontak. Sebagai akibatnya lebih dari 50.000 penduduk sipil tewas dan 1,6 juta penduduk mengungsi dan sekitar 70.000 diantaranya meninggal di tempat pengungsian akibat kekurangan gizi dan wabah penyakit. Berdasarkan pernyataan itu maka keluarlah Resolusi DK-PBB No.1547 tanggal 11 Juni 2004, yang memerintahkan agar Pemerintah Sudan dan para pemberontak harus melaksanakan perjanjian Gencatan Senjata yang sudah dirintis oleh Chad dan UA sebelumnya. Selain itu Sekjen PBB Kofi Anan datang ke Darfur untuk meninjau keadaan, dimana pemerintah Sudan berjanji untuk membuka semua perbatasan terhadap akses kemanusiaan yang dilakukan selama ini serta akan menyeret orang – orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM ke pengadilan, melucuti Janjaweed dalam waktu 30 hari. Bila tidak ditaati akan diberikan sanksi ekonomi dan militer.
Dalam operasi perdamaian antara Sudan dan Darfur, Uni Afrika, Presiden Chad dan PBB banyak membantu didalamnya. Uni Afrika juga telah berhasil menghasilkan perjanjian Darfur Peace Agreement (DPA) pada tanggal 9 Mei 2006. Adapun isi dari Darfur Peace Agreement tersebut, antara lain adalah :
1.      Mayarakat Darfur akan mendapatkan haknya di setiap level pemerintahan dari semua lembaga negara melalui kriteria pembagian kekuasaan yang adil dan merata sesuai dengan kebebasan dasar HAM.
2.      Darfur akan diberi kewenangan untuk mengelola wilayahnya sendiri yang statusnya akan ditentukan melalui referendum yang akan menentukan apakah Darfur akan menjadi satu kesatuan wilayah atau akan menjadi tiga wilayah seperti sebelumnya. Referendum itu akan dilaksanakan di tiga wilayah Darfur setelah pemilu paling lambat bulan Juli 2010.
3.      Pembangunan kembali Darfur akan dilakukan sesegera mungkin termasuk pembagian kekayaan yang terdiri dari SDA, SDM, aset budaya, aset sejarah, serta aset finansial seperti pemberian kredit bagi anggota masyarakat. Pelaksanaan semua perjanjian tentang Gencatan Senjata yang sudah disepakati sejak tahun 2004.

5 komentar:

  1. Setiap perbedaan yang tdk dbatasi persatuan dan ketidak adilan menimbulkan peperangan.

    BalasHapus
  2. Setiap perbedaan yang tdk dbatasi persatuan dan ketidak adilan menimbulkan peperangan.

    BalasHapus
  3. Keren pek. Mantap. Bisa lah sharing2 di email bu. ^_^

    BalasHapus
  4. Semoga Indonesia Aman adem ayem dan semua rakyat nya sejahtera,belajar dari sudan Indonesia jika ingin damai dan sejahtera harus mengutamakan keadilan bagi seluruh madyarakat tanpa harus mendiskriminasikan setiap perbedaan baik suku,ras dan agama ,semiga seluruh rakyat indonesua menyadari hal ini,jgn lagi ada radikalisme,pemaksaan iman terhadap sesama,dan mempolitisasi agama demi kudeta,atau merebut kekuasaan dengan berbagai cara yg tidak fair..itu saja semoga NEGERIKU TETAB BERSATU ,BERJAYA,KUAT DAN SEJAHTERA,AMIN

    BalasHapus
  5. konflik bersenjata menyebabkan banyak jatuh korban warga sipil

    BalasHapus

 

Blogger news

Blogroll