Pendahuluan
Konflik internal hampir
terjadi di seluruh negara di dunia. Dan penyebab konflik biasanya karena adanya
suatu perbedaan dan diskriminasi. Begitu pula yang terjadi di Sudan, setelah
merdeka pada 1 Januari 1956, negara besar ini tak pernah lepas dari konflik
internal perebutan kekuasaan.
Mulai dari konflik agama,
dimana kenyataan yang kita ketahui bahwa semua agama yang berada di dunia mengajarkan
pada setiap umatnya untuk selalu saling menghormati antar pemeluk agama. Namun kenyataan
yang terjadi di Sudan, agama sering dijadikan dalih untuk membantai pemeluk
agama yang lain. Konflik lain yang biasa terjadi di Sudan adalah konflik
kesukuan atau ras, konflik ini tidak jauh berbeda dengan konflik antar
agama yang sering terjadi di berbagai negara dalam Afrika. Eksistensi dari
berbagai suku dalam sebuah negara cenderung menghasilkan sebuah suku diabaikan,
atau tidak diberikan pelayanan publik yang sama dengan suku lainnya dan
munculah diskriminasi pada suatu suku. Konflik lainnya disebabkan karena kudeta
yang dilakukan oleh pemerintah Sudan hanya untuk suatu jabatan atau kekuasaan.
Dan politik negara Sudan diwarnai dengan ketidakadilah yang memicu munculnya
konflik-konflik internal di Sudan.
Dan karena
situasi dan kondisi yang terjadi di Sudan, dalam tulisan ini saya akan membahas
lebih lanjut tentang konflik internal yang terjadi di Sudan. Secara umum
konflik internal yang terjadi di Sudan itu ada dua konflik yang sangat
berpengaruh yaitu yang pertama konflik antara Sudan Utara dengan Sudan Selatan
dan yang kedua konflik di Darfur.
Konflik antara Sudan Utara dan Sudan Selatan
Perang sipil Tahap 1 (1955-1972)
Konflik Sudan
bagian pertama antara tahun 1955-1972. Awal dari konflik ini terjadi pada
penjajahan Inggris di Sudan yang saat itu membagi Sudan menjadi 2 wilayah
sesuai dengan persebaran peduduk di Sudan, daerah utara berpenduduk etnis Arab
yang mayoritas beragama Islam dan sedangkan daerah selatan didominasi oleh
etnis kulit hitam Afrika dan beragama nasrani. Setelah itu Inggris menginginkan
Sudan Utara dan Sudan Selatan disatulan dalam satu pemerintahan yang berpusat
di kota Kartoum di Sudan Utara. Dari pihak Sudan Selatan menghawatirkan terjadinya
ketidakadilan dan hal tersebut terbukti, di dalam birokrat dari 800 kursi hanya
6 kursi orang dari Sudan Selatan.
Pada awalnya
terjadi beberapa konflik-konflik sipil yang berskala kecil di Sudan Selatan
namun setelah tahun 1962 anggota korps ekuatorial dan pelajar-pelajar Sudan
Selatan bersatu dan membentuk kelompok pemberontak baru yang bernama Anyanya. Dan dengan Anyanya yang juga dibantu persenjataan dari bangsa asing seperti
Israel dan Uni Soviet membuat konflik semakin memanas anatar Sudan Utara dan
Sudan Selatan. Sudan menggunakan kekuatan militer untuk melawan pemberontakan
dari Sudan Selatan, namun Sudan tidak dapat mengendalikan kekuatan militernya
dan mengakibatkan terjadinya kudeta militer yang berlanjut dengan kudeta
pemerintahan lainnya.
Tahun 1971
Joseph Lagu (mantan letnan Sudan) membentuk kelompok baru yaitu Southerm Sudan Liberation Movement
(SSLM). Pemberontakan SSLM ini juga merupakan gabungan dari Anyanya dan mendapat dukungan dari
seluruh politikus di Sudan Selatan sehingga dengan adanya SSLM ini dapat
menampung seluruh kepentingan bersama. Walaupun seluruh rakyat Sudan Selatan
melakukan gerilya untuk menyerang Sudan tetapi hal tersebut tidak dapat
menyatukan Sudan Selatan secara utuh karena ada konflik-konflik antar etnis
setempat.
Lepas dari masih berjalannya konflik antara pemerintah
Sudan melawan gerilya pemberontak Sudan Selatan, pembicaraan damai untuk
mengakhiri perang sipil Sudan terus berjalan. Hasilnya melalui perjanjian yang
difasilitasi oleh kaisar Ethiopia, Haile selassie, pihak pemerintah Sudan yang
dipimpin oleh Gaafar Nimeiry dan kubu SSLM pun bersepakat untuk berhenti
berperang melalui apa yang dikenal sebagai Perjanjian Addis Ababa pada tanggal
27 Maret 1972. Beberapa poin penting dari perjanjian tersebut adalah pembentukan
pemerintah otonom tunggal yang mengontrol seluruh wilayah Sudan Selatan,
pendirian Konsul Eksekutif Tinggi untuk mengurusi masalah tata daerah Sudan
Selatan dan bahasa Inggris sebagai bahasa pokok Sudan Selatan. Perang sipilpun
dapat berakhir tapi sementara waktu.
Perang Sipil tahap 2 (1983-2005)
Perdamain diantara keduanya itu tidak berjalan lama.
Pada tahun 1983 setelah presiden Nimeiry ingin menerapkan sistem hukum Islam di
Sudan dan orang-orang Sudan Selatan pun tidak setuju karena kebnyakan dari
mereka beragama Non-Islam. Dan kolonel Jonh Garang membuat pasukan bersenjata
yang bernama Sudan People’s Liberation
Army (SPLA), dan tentara pembebasan rakyat Sudan yang diberi nama Sudan People’s Liberation Movement
(SPLM). Kemudian pada tahun 1986 Nimery diberhentikan. Setelah itu SPLA mulai
melakukan perundingan perdamaian dengan Sudan dan SPLA akan mengehentikan
genjatan senjata jika Sudan tidak menerapkan hukum islan di sana. Pada tahun
1989 muncul kudeta militer dari kelompok yang beraliran religius National Islamic Front (NIF) dan NIF
adalah pemerintahan baru yang memimpin Sudan. Dan melanjutkan perundingan dengan
SPLA namun tidak menyetujui persyaratan SPLA. Setelah itu SPLA mencari dukungan
di Sudan Selatan dan memperkuat persenjataan dan militernya.
Namun kemudian SPLA terpecah menjadi 2 dan kesempatan
itu tidak disia-siakan oleh pemerintah Sudan yang dibantu oleh orang-orang yang
pro pemerintah dan mampu merebut kembali benteng penting SPLA dikota Torit
1992. Pada tahun 1995 muncul kelompok anti pemerintah yang disebut National Democratic Alliance (NDA) yang
beranggotakan partai-partai oposisi dan orang-orang Sudan Utara yang tidak
menyukai pemerintah. Dengan demikian ada 3 kubu dalam konflik di Sudan kali ini
yaitu Pemerintah Sudan, SPLA, dan NDA.
Kemudian pada tahun 2002 genjatan senjata oleh SPLA
berhasil dilakukan dan kembali pada masa damai. Dan usaha untuk menjalin
perjanjian damaipun berusaha dilakukan. Kemudian terbentuklah perjanjian damai
pada tahun 2005 di Nairobi, Kenya, Afrika Timur. Ada beberapa point penting
dari isi perjanjian tersebut yaitu referendum akan dilakukan pada tahun 2011
untuk menentukan apakah wilayah tersebut
tetap wilayah Sudan atau merdeka, pembagian hasil penjualan minyak akan
dibagi rata antar wilayah Utara dan Selatan, dan Sudan Selatan tidak lagi
diwajibkan menerapkan hukum Islam. Dicapainya perjanjian damai tersebut
sekaligus mengakhiris konflik internal di Sudan.
Perang sipil Sudan adalah perang sipil terpanjang di
Afrika bahkan mungkin dunia karena jika waktu berlangsungnya diakumulasi,
perang ini berlangsung selama 40 tahun lebih. Akibat perang ini, lebih dari 2
juta rkayat Sudan harus kehilangan nyawa, sementara jumlah mereka yang harus
kehilangan harta benda dan tempat tinggal juga tak kalah banyak. Selama
konflik, kedua belah oihak juga dilaporkan merekrut anak-anak sebagai tentara.
Menyususn perjanjian damai yang dicapai tahun 2005, muncul perintah untuk
mengeluarkan anak-anak tersebut dari ketentaraan dan mengirim mereka kembali
ketempat asalnya.
Pada 9 Januari 2011, referendum untuk
menentukan nasib Sudan Selatan akan dilaksanakan. Dan hasil dari referendum
tersebut adalah 90% dari rakyat Sudan Selatan menginginkan kemerdekaan.
Kemudian pada 9 Juli 2011 Sudan Selatan di merdekakan sebagai negara republik
dengan Salva Kiir sebagai presidennya. Masalah yang dihadapi Sudan Selatan
adalah masih belum stabilnya keamanan setempat akibat konflik-konflik kecil
yang masih terjadi. Dan yang harus dikhawatirkan Sudan Selatan adalah masalah
menjaminnya keamanan dan kemakmuran rakyat.
Konflik di Darfur
Darfur merupakan provinsi di
barat Sudan di mana tiga kelompok etnis mendominasi daerah dan mayoritas orang
muslim. Sebagian besar penduduknya adalah petani Arab berkulit hitam yang
nomaden. Adanya perbedaan etnik, menyebabkan terjadinya konflik antara Sudan
Arab dan Afrika hitam. Hal itu terjadi karena populasi di Darfur terdiri dari
beberapa suku yang semuanya bekerja sebagai petani dan pengembala unta serta
sapi. Mayoritas suku yang bekerja sebagai petani adalah suku Fur dan Masalit,
dan mayoritas suku yang bekerja sebagai pengembala adalah suku Zaghawa,
Baqqaram dan Abbala. Iklim yang ekstrim di Darfur menciptakan suku-suku ini
harus belajar untuk berbagi air dan tanah untuk perternakan dan pertanian
mereka.
Pada awal tahun 1980-an,
terjadinya kekeringan parah yang menyebabkan ketidakstabilan di Darfur. Keterlibatan
Libya juga mengakibatkan arus masuk senjata kecil ke Darfur. Ini adalah unsur
utama letusan kekerasan di Darfur yang pada awalnya konflik di Dafur hanyalah
konflik kecil antar etnik. Pada pertengahan 1987, perang pecah antara Fur dan
nomaden Arab, yang dimana pada saat itu Tentara Sudan memberikan nomaden Arab
persenjataan dan kuda layaknya “para ksatria” yang disebut dengan Janjaweed, kemudian mulai menyerang
petani desa. Ini juga pertama kalinya kata Janjaweed
digunakan untuk menggambarkan milisi Arab. Dengan diabaikannya situasi ini oleh
pemerintah pusat, perang terus berlanjut sampai Mei 1989.
Sejak Sudan memperoleh
kemerdekaannya, Darfur secara politik dan ekonomi termajinalkan oleh pemerintah
pusat. Sejumlah kaum terpelajar Darfur membentuk suatu pergerakan politik di
tahun 1960-an untuk memperjuangkan Darfur sejajar dengan yang lain. Terkait
dengan hal ini, pada akhir tahun 1980-an suku-suku petani disana seperti Fur
dan Masalit menghadapi konflik tidak hanya dengan suku Arab namun juga dengan
pemerintah pusat. Sebagai akibatnya, suku-suku Afrika (Fur, Masalit, dan
Zaghawa) ini membentuk kelompok perlawanan yang bersenjata di akhir tahun
1990-an dan di tahun 2001 mereka melancarkan serangan terhadap gedung-gedung
kepolisian dan markas tentara.
Di pihak lain, para milisi dari
etnik Fur, Zaghawa dan Massalit pada 2001 bergabung dalam satu gerakan
pemberontakan terhadap pemerintah yang telah semena-mena dan memarjinalkan
mereka. Mereka mendapatkan latihan militer dari kelompok Zaghawa, yang
sebelumnya telah mendapat latihan dari tentara Sudan dan Chad. Mereka
mempersenjatai diri, dengan senjata-senjata yang dibeli/diselundupkan dari Chad
dan Libya. Maka konflik antarmilisi pun makin sering dan berskala lebih besar.
Gerakan itu kemudian menamakan diri sebagai Darfur Liberation Front
(DLF). Kemudian DLF melancarkan serangan ke instalasi militer dan pemerintahan
di Golo, Jabal Marra, Darfur, kemudian mengganti namanya menjadi Sudan
Liberation Movement/Army (SLM/A) yang dipimpin oleh Abdel Wahid. Mereka
menginginkan Sudan menjadi negara kesatuan yang berdasarkan sekularisme secara
konstitusionanl dan berdasarkan demokrasi perwakilan yang adil, penghormatan
terhadap HAM dan keadilan sosial yang merata. Sedangkan Pemberontak Sudan
Selatan (SPLM/A) menginginkan Sudan Baru yang terdiri dari dua wilayah yaitu
wilayah Utara yang berdasarkan syariat Islam dan Wilayah Selatan yang
berdasarkan Sekularisme atau memisahkan diri dari Sudan berdasarkan
self-determination. Meskipun hasil pertemuan itu tidak diumumkan, namun orang
dapat mengasumsikan bahwa antara gerakan di Sudan Selatan dan gerakan di Darfur
paling tidak terdapat penyamaan visi.
Pada tahun 2002, ketiga suku
ini memutuskan untuk bergabung dengan kelompok pemberontakan yaitu Pasukan
Pembebasan Sudan atau Sudan Liberation Army (SLA) atau Jaisy Tahrir
al-Sudan dan Gerakan Keadilan Persamaan atau The Justice and Equality
Movement (JEM) atau Jaisy Tahrir
al-Sudan. Dan pada tanggal 25 April 2003, serangan terhadap Bandar Udara
El-Fasher dinilai sebagai titik dimulainya dari perang saudara di Darfur ini.
Semenjak Oktober 2003, Janjaweed merubah fokus kampanyenya
memerangi para pemberontak menjadi penargetan para warga sipil. Dengan
menyerang dan menggusur warga sipil yang dimana dilakukan didaerah yang
merupakan pusat para pemberontak. Penyerangan ini dilakukan dengan peluncuran
bom-bom dari pesawat militer dan diikuti dengan menghujani peluru lewat
helikopter, kemudian Janjaweed memasuki desa-desa dengan berjalan kaki,
menunggangi kuda atau unta, dan mobil, untuk menjarah, memperkosa, dan
membunuh. Kerap kali desa-desa tersebut dibakar untuk mencegah para penduduk
kembali lagi.
Pertemuan yang dilakukan Nahar dan Massar dengan
SLM/A pada bulan Juni 2003, namun pemberontak itu baru mau melakukan
perundingan damai, apabila mereka diakui secara politis dengan menghentikan
tuduhan sebagai pemberontak dan melucuti senjata Janjawaheed, namun persyaratan
yang diajukan oleh pemberontak itu tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah Sudan. Upaya
perdamaian yang lebih berarti dilakukan oleh Presiden Chad, Idris Deby, karena
merasa hutang budi kepada Sudan atas dukungannya dan suku Zaghawa dalam
menumbangkan kekuasaan Rezim Hussein Habre di Chad. Ia bertindak selaku
mediator antara SLM/A dan JEM dengan pemerintah Sudan, yang dihadiri oleh
pengamat dari AS, UE, UA dan utusan khusus dari PBB di N’jamena pada bulan
Maret 2004. Perjanjian ini membentuk kesepakatan gencatan senjata dan bertugas
untuk mengatur dan mengawasi perdamaian selama 45 hari antara pihak – pihak
yang bertikai. Kemudian peran mediasi yang dilakukan oleh Chad digantikan oleh
Uni Afrika dengan membentuk Komisi Gabungan Gencatan Senjata, yang telah
berhasil meletakan dasar penting bagi proses selanjutnya.
Keterlibatan
PBB di Darfur dimulai ketika terjadi krisis kemanusian di Darfur pada tahun
2003 akibat dari tindakan Janjaweed terhadap penduduk sipil yang dituduh
membantu pemberontak. Sebagai akibatnya lebih dari 50.000 penduduk sipil tewas
dan 1,6 juta penduduk mengungsi dan sekitar 70.000 diantaranya meninggal di
tempat pengungsian akibat kekurangan gizi dan wabah penyakit. Berdasarkan
pernyataan itu maka keluarlah Resolusi DK-PBB No.1547 tanggal 11 Juni 2004,
yang memerintahkan agar Pemerintah Sudan dan para pemberontak harus
melaksanakan perjanjian Gencatan Senjata yang sudah dirintis oleh Chad dan UA
sebelumnya. Selain itu Sekjen PBB Kofi Anan datang ke Darfur untuk meninjau
keadaan, dimana pemerintah Sudan berjanji untuk membuka semua perbatasan
terhadap akses kemanusiaan yang dilakukan selama ini serta akan menyeret orang
– orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM ke pengadilan, melucuti
Janjaweed dalam waktu 30 hari. Bila tidak ditaati akan diberikan sanksi ekonomi
dan militer.
Dalam operasi perdamaian
antara Sudan dan Darfur, Uni Afrika, Presiden Chad dan PBB banyak membantu
didalamnya. Uni Afrika juga telah berhasil
menghasilkan perjanjian Darfur Peace Agreement (DPA) pada tanggal 9 Mei 2006.
Adapun isi dari Darfur Peace Agreement tersebut, antara lain adalah :
1.
Mayarakat Darfur
akan mendapatkan haknya di setiap level pemerintahan dari semua lembaga negara
melalui kriteria pembagian kekuasaan yang adil dan merata sesuai dengan
kebebasan dasar HAM.
2.
Darfur akan diberi
kewenangan untuk mengelola wilayahnya sendiri yang statusnya akan ditentukan
melalui referendum yang akan menentukan apakah Darfur akan menjadi satu
kesatuan wilayah atau akan menjadi tiga wilayah seperti sebelumnya. Referendum
itu akan dilaksanakan di tiga wilayah Darfur setelah pemilu paling lambat bulan
Juli 2010.
3.
Pembangunan kembali
Darfur akan dilakukan sesegera mungkin termasuk pembagian kekayaan yang terdiri
dari SDA, SDM, aset budaya, aset sejarah, serta aset finansial seperti
pemberian kredit bagi anggota masyarakat. Pelaksanaan semua perjanjian tentang
Gencatan Senjata yang sudah disepakati sejak tahun 2004.
Setiap perbedaan yang tdk dbatasi persatuan dan ketidak adilan menimbulkan peperangan.
BalasHapusSetiap perbedaan yang tdk dbatasi persatuan dan ketidak adilan menimbulkan peperangan.
BalasHapusKeren pek. Mantap. Bisa lah sharing2 di email bu. ^_^
BalasHapusSemoga Indonesia Aman adem ayem dan semua rakyat nya sejahtera,belajar dari sudan Indonesia jika ingin damai dan sejahtera harus mengutamakan keadilan bagi seluruh madyarakat tanpa harus mendiskriminasikan setiap perbedaan baik suku,ras dan agama ,semiga seluruh rakyat indonesua menyadari hal ini,jgn lagi ada radikalisme,pemaksaan iman terhadap sesama,dan mempolitisasi agama demi kudeta,atau merebut kekuasaan dengan berbagai cara yg tidak fair..itu saja semoga NEGERIKU TETAB BERSATU ,BERJAYA,KUAT DAN SEJAHTERA,AMIN
BalasHapuskonflik bersenjata menyebabkan banyak jatuh korban warga sipil
BalasHapus