Selasa, 24 Juni 2014

SAREKAT ISLAM LOKAL DAERAH TOLI-TOLI TAHUN 1916-1919


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Munculnya pergerakan pada awal abad XX tidak lain berpangkal pada dibukanya kesempatan Bumiputera dalam memperoleh pendidikan. Elit­elit baru yang dilahirkan oleh kebijakan politik etis­lah yang kemudian memegang peran­peran penting dalam masa pergerakan. Imbas dari kebijakan itu adalah munculnya gerakan Sarekat Islam (SI). Sarekat Islam merupakan organisai nasional Indonesia pertama yang berdasarkan politik.

Sarekat Islam (SI) mulai dikenal di Toli-Toli pada tahun 1916. Hampir bersamaan dengan didirikannya Sarekat Islam di Sulawesi Tengah, Maros, seorang mantan presiden Kring di Naing Manado mendirikan Sarekat Islam Toli­Toli. Awalnya, Sarekat Islam masuk ke Toli­Toli dengan tujuan memperbaiki ajaran­ajaran Islam yang telah terkontaminasi budaya setempat. Dengan ideologi Islam yang dibawanya, Sarekat Islam sangat mudah diterima oleh masyarakat pedesaan dan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dalam perkembangannya, Sarekat Islam sebagai organisasi yang memilih basis massa mayoritas dari masyarakat mampu mengangkat masalah­masalah tentang kegelisahan masyarakat atas berbagai kebijakan pemerintah kolonial ke panggung politik Toli­Toli. Sarekat Islam dalam perkembangannya Nampak sebagai lambing solidaritas kelompok yang dipersatukan dan didorong oleh perasaan tidak suka kepada orang Cina, bangsawan, pejabat, mereka yang tidak menjadi anggota Sarekat Islam, dan khususnya pada Belanda.
Kondisi politik yang terintervensi keberadaan pemerintah kolonial dengan kegiatan ekploitasinya juga menjadi latar belakang terjadinya sentiment masyarakat kepada golongan pemerintah kolonial. Selain itu, monopoli perdagangan dan politik ternyata sangat membuat rakyat Hindia Belanda pada umumnya dan rakyat Toli­Toli pada khususnya tertindas. Di Toli­Toli, faktor­faktor tersebut melahirkan suatu bentuk pergerakan masyarakat sebagai sikap tidak puas atas jalannya kolonialisasi.
Awal abad XX pergerakan yang ada di Sulawesi berbentuk perlawanan fisik, dan hal itu dapat ditekan pemerintah kolonial dengan menggunakan kekuatan senjata. Kemudian warga Sulawesi beralih ke wadah organisasi sebagai upaya perlawanan mereka kepada pemerintah. Sebagaimana pergerakan Sarekat Islam yang kemudian beralih pada perlindungan dan penanaman solidaritas ekonomi serta agama untuk anggota­anggotanya atas kebijakan pemerintah kolonial. Kerusuhan yang terjadi pada tahun 1919 di Toli­Toli pun merupakan pergerakan yang memilki ciri tersendiri, diantaranya adalah terlibatnya penguasa lokal dalam pergulatan politik Toli­Toli. Gejolak yang bersifat vertical ini, mengambil korban dari beberapa oknum dan personil pegawai pemerintah kolonial dan juga penguasa lokal Toli­Toli. Terjadinya pemberontakan tersebut membuktikan bahwa berbagai propaganda Sarekat Islam di Toli­Toli berhasil menciptakan kesadaran masyarakat untuk radikal terhadap sikap dan kebijakan yang keluar dari pemerintah.
Dalam penulisan paper tentang “Sarekat Islam Lokal Daerah Toli-Toli Tahun 1916-1919” ini akan membahas dua hal, yaitu pertama, lahir dan berkembangnya Sarekat Islam di Toli-Toli dan yang kedua adalah peranan Sarekat Islam dalam dinamika kehidupan masyarakat Toli-Toli pada tahun 1916-1919.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Lahir dan Berkembangnya Sarekat Islam Lokal di Toli-Toli
Sarekat Islam didirikan di Surakarta pada tanggal 11 November 1912. Sarekat Islam tumbuh dari organisasi yang mendahuluinya yakni Sarekat Dagang Islam. Melihat begitu besar antusias masyarakat terhadap Sarekat Islam dalam berbagai kongres­kongres yang diselenggarakan pada tahun­tahun awal berdirinya, Sarekat Islam pun dengan cepat menyebar ke berbagai wilayah luar Jawa. Disamping dalam rangka pengkonsolidasian nasionalisme, penyebaran ke wilayah­wilayah luar Jawa ini juga merupakan agenda Sarekat Islam pusat yang dilakukan bersamaan dengan usaha untuk memperbaiki struktur kepengurusan Sarekat Islam lokal.
Di Pulau Sulawesi, daerah yang pertama kali menerima organisasi Sarekat Islam adalah daerah Sulawesi Selatan, kemudian disusul oleh Sulawesi Tengah. Dan daerah di Sulawesi Tengah yang pertama kali menerima Sarekat Islam adalah Boul Toli-Toli pada tahun 1916. Raja Binol merupakan tokoh yang mempelopori berdirinya Sarekat Islam lokal Boul Toli-Toli. Susunan pengurus Sarekat Islam Boul Toli-Toli waktu itu adalah Raja Binol sebagai presiden, Pangeran Mangkona sebagai wakil presiden, dan T Mangkona selaku sekretaris. Upaya yang dilakukan Raja Binol dalam menyebarkan Sarekat Islam di Boul Toli-Toli melalui pendekatan-pendekatan dengan para bangsawan lokal daerah sekitar, termasuk bangsawan Toli-Toli. Terbukti dalam kepengurusan Sarekat Islam Toli-Toli terdapat beberapa orang yang juga menjabat dalam struktur birokrasi lokal Toli-Toli.
Untuk masalah pembentukan struktur organisasi dan penyebaran Sarekat Islam sampai pembentukan Sarekat Islam Lokal Toli-Toli, pengaruh raja Binol dan para bangsawan lokal Toli-Toli bukanlah komponen yang mutlak berperan, karena juga didorong oleh beberapa factor yaitu: pertama, dorongan Sarekat Islam pusat yakni bantuan atas pendirian Sarekat Islam Lokal yang telah menjadi program pada tahun 1916; kedua, peran dari seorang mantan presiden Sarekat Islam Naing, Menado bernama Maros yang berpindah ke Toli-Toli dengan latar belakang organisatoris, dan Maros dapat mengaplikasikan pendekatan keagamaan dengan baik dalam proses penyebaran Sarekat Islam di Toli-Toli.
Pada saat peresmian Sarekat Islam Toli-Toli, kedatangan Sarekat Islam pusat dan Tjokroaminoto memberikan penerangan asas dan program kerja Sarekat Islam. Tjokro dalam dakwagnya menyebutkan prinsip yang menjadi anggaran dasar Sarekat Islam antara lain: memajukan pertanian, perdagangan, kesehatan, pendidikan dan pengajaran; memajukan hidup menurut perintah agama dan menghilangkan faham-faham keliru tentang agama; mempertebal rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong diantara anggotanya. Hal tersebut dilakukan Tjokro guna meningkatkan dan memperkuat basis massa terhadap golongan bawah dan mayoritas. Dalam hal ini basis massa Sarekat Islam Lokal Toli-Toli digolongkan menjadi dua, yaitu basis massa agama dan basis massa ekonomi.
  1. Basis Massa Agama
Dalam sejarah awal penyebaran Sarekat Islam lokal Toli-Toli banyak melakuakan pendekatan dakwah dalam menyebarkan ideologinya. Maka prinsip Sarekat Islam yang diadopsi dari ajaran agama Islam, menjadi modal yang sangat berarti dalam membentuk solidaritas masyarakat Toli-Toli. Masuknya golongan agama Islam pada basis massa Sarekat Islam Toli-Toli, merupakan hasil jalan dakwah yang diawali oleh peran Maros. Maros banyak mensosialisasikan Sarekat Islam terhadap masyarakat Islam disana, dan berhasil melakukan pendekatan dengan masyarakat melalui media ini. Walaupun dakwah yang dilakukan memiliki misi untuk menegakan syariah Islam terhadap kontaminasi adat dalam pelaksanaan berbagai aktivitas keagamaan Islam, akan tetapi prinsip-prinsip solidaritas Sarekat Islam yang turut disisipkan dalam dakwah-dakwahnya terdapat pula asas perlindungan yang ditawarkan Sarekat Islam.
Dalam perkembangannya, solidaritas Sarekat Islam tersebut mengarah kepada solidaritas intern umat Islam. Seperti pembatasan interaksi anggota Sarekat Islam yang tertuang dalam aturan Sarekat Islam lokal Toli-Toli kemudian menjadi solidaritas umat Islam Sarekat Islam atau fanatisme golongan. Prinsip yang dimaksud mencakup sistem pengikatan anggota-anggota Sarekat Islam untuk meminimalisir interaksi dengan golongan diluar Sarekat Islam. Aturan intern Sarekat Islam ini diaplikasikan dalam aturan perkawinan, takziah dan sedekah. Aturan pelarangan ini menyebabkan meningginya sentiment anggota-anggota Sarekat Islam. Konsep keislaman dan aplikasi tarekat menjadi sangat kental dan kemudian dijunjung tinggi oleh masyarakat dan berimbas pada terjadinya persinggungan dengan pemerintah Kolonial beserta orang asing yang non Islam.
  1. Basis Massa Ekonomi
Pembangunan pelabuhan dan sistem bead an cukai sudah diterapkan pada awal abad XX. Penguasaan hasil bumi di Toli-Toli oleh pemerintah kolonial telah terjadi ketika pelabuhan mulai difungsikan. Pemerintah kolonial melakukan eksplorasi terhadap hasil bumi, menerapkan sistem pajak dan pembatasan kapasitas masyarakat dalam kegiatan ekonomi (masyarakat hanya dilibatkan dalam produksi dan hasil dari pekerjaan mereka sebagian besar disetorkan ke pemerintah kolonial melalui pejabat lokal yang ditunjuk), hal-hal tersebut merupakan penyebab terpuruknya kekuatan ekonomi masyarakat. Selain itu pemerintah kolonial hanya memberi akses kepada kalangan ekonomi yang memiliki potensi untuk keuntungan kolonial dan atas pertimbangan mempunyai sikap kooperativ, sehingga pemerintah kolonial lebih pro terhadap pelaku ekonomi dari pihak asing sperti halnya Cina dan bangsa asing lainnya.
Imbas dari sistem ekonimi kolonial tersebut diarasakan oleh seluruh masyarakat Toli-Toli dari semua golongan. Tenaga yang mereka curahkan tidak sebanding dengan hasil yang mereka terima. Tuntutan ganda diantara kewajiban kepada pemerintah tradisional dan pemerintah kolonial jelas membuat mereka terpuruk. Keterpurukan pribumi ini dimanfaatkan oleh orang-orang Cina. Dalam hal peminjaman uang, orang Cina menerapkan bunga tinggi dengan jaminan lahan atau tanaman di sawah milik pribumi, mereka menguasai penduduk pribumi yang tidak dapat melunasi hutangnya. Hal ini memperuncing kondisi tidak dinamisnya hubungan pribumi dengan mereka.
Dengan kondisi masyarakat pribumi yang dijadikan korban dalam sistem pemerintah kolonial, masyarakat pribumi banyak yang menjadi anggota Sarekat Islam Lokal yang dapat memfasilitasi keinginan mereka dan menghentikan diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial dan para pelaku ekonomi asing terhadap masyarakat pribumi. Dan dengan banyak masyarakat pribumi yang bergabung dengan Sarekata Islam menjadi pelengkap basis massa Sarekat Islam Lokal Toli-Toli.

B.     Peranan Sarekat Islam Lokal dalam Dinamika Masyarakat Toli-Toli Tahun 1916-1919
Di tengah situasi terpuruknya masyarakat atas berbagai kebijakan pemerintah kolonial pada awal abad XX di Toli­Toli, Sarekat Islam berperan sebagai organisasi yang mengakomodir kegelisahan masyarakat, karena diketahui unit­unit penyelenggaraan kehidupan masyarakat yang meliputi bidang politik, sosial serta ekonomi, secara sistematik telah bersinggungan dengan haluan kolonialisasi. Sarekat Islam menempatkan diri dan secara konkret menjembatani serta melindungi beberapa kepentingan masyarakat dengan sejumlah sifat pergerakannya yang khas.
  1. Peran Sarekat Islam Lokal Toli-Toli dalam Bidang Ekonomi
Dalam bidang perekonomian di Toli-Toli, masyarakat didiskriminasi dengan adanya sistem kapitalisme oleh pihak Koloni yang merugikan seluruh anggota masyarakat dari segala golongan. Dalam hal ini Sarekat Islam Lokal berperan untuk meredam kapitalisme di masyarakat.
a.       Peran Sarekat Islam Meredam kapitalisme di Kalangan Pemegang Modal Toli-Toli
Monopoli ekonomi oleh Pemerintah kolonial di Toli­Toli nampak pada unit pengelolaan ekonomi. Seperti kasus pemilihan pemegang kursi direktur dalam suatu perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan komoditas Toli­Toli. Masalah ini terlihat jelas pada kasus yang ditemui tokoh Sarekat Islam, Abdoel Moeis ketika berkunjung di daerah ini. Tempat pertama Abdoel Moeis singgah dalam kunjungannya di Sulawesi Tengah adalah daerah Wani, tepatnya tanggal l3 April 1919. Di sana ia menetap di rumah Haji Abdoel Kadir, salah satu pemilik Handelsvereeniging (perkumpulan pemegang saham) Wani. Abdoel Moeis mensinyalir terdapat manipulasi oleh paham kuat modal dalam jajaran Handelsvereeniging, yakni orang yang duduk di kursi direktur. Menurutnya, posisi tersebut memiliki banyak wewenang yang cukup untuk memainkan roda manipulasi. Direktur yang dimaksud adalah seorang bangsa Arab yang bernama Said Mahmoed.
Perselisihan antara aandeelhouder (pemegang saham) dalam memperebutkan kursi direktur pun terjadi setelah itu. Pihak yang berseberangan dengan direktur diprakarsai oleh Haji Abdoel Kadir, ia menginginkan Haji Joenoes untuk menjadi direktur. Perselisihan semakin terlihat nyata ketika terjadi pertentangan dalam setiap rapat aandeelhouder. Abdoel Kadir yang berusaha keras untuk mempromosikan Joenoes menjadi direktur tersebut tidak jauh dari intervensi Abdoel Moeis. Abdoel Moeis mencurigai calon direktur, Said Mahmoed adalah orang yang pro kolonial sehingga dikhawatirkan ia akan menjadi direktur yang akan melancarkan jalan pemerintah kolonial dalam menyengsarakan masyarakat. Gesekan dalam tubuh para pemegang saham ini semakin meruncing dengan dilaporkannya Said Mahmoed ke pihak kepolisian dengan tuduhan penggelapan uang dan pemalsuan buku­buku laporan. Pertentangan ini berlanjut ketika Abdul Moeis datang ke Wani untuk menghadiri vergadering, namun momen itupun diwarnai dengan pertengkaran. Wakil CSI (Central Sarekat Islam) tersebut melindungi bahkan cenderung berpihak kepada Haji Abdoel Kadir, sehingga dalam hal ini Abdoel Moeis sangat jelas mendukung diadukannya Said Mahmoed ke pihak kepolisian.
Campur tangan yang dilakukan Abdoel Moeis dalam pemilihan kursi direktur pada handelsvereneging adalah salah satu upayanya untuk meredam praktek kapitalisme yang disebut­sebut sebagai sumber pederitaan masyarakat.
b.      Peran Sarekat Islam Lokal Toli-Toli untuk Ekonomi Rakyat Kalangan Bawah
Kegiatan ekploitasi pemerintah kolonial terhadap sumber daya alam Toli­Toli, langsung berdampak nyata pada masyarakat kecil. Mayoritas dari mereka mengalami perubahan orientasi ekonomi, yang pada awalnya mereka melakukan aktivitas pengolahan sumber daya alam hanya untuk kepentingan pribadi, akan tetapi pasca sumber daya alam terkait dijadikan komoditas oleh pemerintah kolonial, orientasi kepentingan mereka berubah menjadi kewajiban untuk memenuhi kegiatan perdagangan kolonial. Fenomena perubahan orientasi kegiatan ekonomi masyarakat menjadi suatu pemahaman bahwa sistem ekonomi kolonial telah menghambat kepentingan masyarakat, hal inilah yang berusaha diangkat oleh Sarekat Islam. Pada fase berikutnya Sarekat Islam menjadi motor dijalankannya program pembangunan kesadaran masyarakat atas posisi mereka dalam sistem kolonial. Sarekat Islam menganggap kesadaran kolektif masyarakat harus diwadahi dengan suatu bentuk kumpulan massa yang terorganisasi. Pengenalan koperasipun kemudian dibentuk oleh Sarekat Islam. Dengan wadah ini Sarekat Islam menawarkan bentuk kekuatan ekonomi kemasyarakatan yang berprinsip mengangkat kolektivitas yang akan menghasilkan suatu kekuatan pribumi.
Gejala berhasilnya pendekatan Sarekat Islam pada masyarakat kalangan bawah adalah masuknya kalangan ini menjadi basis massa Sarekat Islam. Kemudian secara konkret Sarekat Islam mengadakan pembelaan kepentingan masyarakat. Berapa kali Sarekat Islam memperhatikan permasalahan­permasalahan masyarakat bawah, dan memberikan fasilitas dukungan terhadap hak mereka dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Beberapa masalah masyarakat yang mendapat dukungan Sarekat Islam antara lain:
Ø  Perlindungan hak­hak rakyat dalam melakukan kegiatan ekonomi kelas kecil seperti bertani, kegiatan nelayan, industry rumah tangga seperti pertukangan kayu, industry tekstil kecil, dan hak­hak para pelaku ekonomi kelas kecil yang bersinggungan dengan kewajiban heerendienst serta belasting.
Ø  Kegiatan bertani masyarakat Toli­Toli pada awal abad XX memang mengalami penurunan esensial yang diistilahkan dengan pekerjaan sampingan. Pengalihan prioritas seperti diatas juga terjadi dalam kegiatan industry rumah tangga seperti tenun dan seterusnya. Orientasi pasar yang lebih luas ternyata telah mempengaruhi sistem produksi dan pemasaran tradisional. Idealnya pasar yang lebih mengembang akan mempengaruhi keuntungan pelaku ekonomi, akan tetapi hal tersebut terbantah oleh kebijakan pemerintah kolonial seperti pajak telah membatasi hak masyarakat dalam mendapatkan keuntungan lebih.
Ø  Kasus relokasi hunian orang­orang Tooya yang berada di daerah pantai laut ke pinggir jalan besar juga menjadi permasalahan masyarakat. Oleh pemerintah kolonial, mereka dipaksa untuk meninggalkan kebun kelapa, jarring dan pukat­pukatnya. Program relokasi ini mengebiri hak masyarakat dalam melakukan kegiatan yang telah menjadi mata pencaharian mereka. Lebih ironis, perpindahan hunian ini ditujukan untuk melibatkan masyarakat dalam proyek pembangunan jalan. Walaupun pada akhirnya beberapa orang yang turut menentang kebijakan ini terpaksa harus berurusan dengan hokum pemerintah kolonial.
Berbagai kalangan yang mendapat perhatian dari Sarekat Islam seperti di atas menjadi salah satu bagian dari basis massa Sarekat Islam, dimana nantinya menjadi unsur kekuatan Sarekat Islam Toli­Toli. Sarekat Islam sering mengumpulkan mereka dalam suatu pertemuan dan menjalin kesadaran mereka dengan berbagai propaganda. Pemerintah kolonial mulai mengantisipasi gerakan Sarekat Islam dengan mengeluarkan berbagai aturan yang memojokkan mereka. Hal itu dilakukan lantaran gerakan Sarekat Islam dinilai telah mempengaruhi stabilitas pemerintahan kolonial di Toli­Toli. Aturan­aturan tersebut, seperti tidak diperbolehkannya anggota Sarekat Islam menangkap ikan di laut dengan alasan laut adalah milik raja. Contohnya, pada tanggal 14 September 1918 para prajurit kerajaan berpratoli dan mereka mendapati anggota Sarekat Islam yang tengah melaut. Prajurit kerajaan tersebut kemudian melarang anggota Sarekat Islam menangkap ikan, namun bagi mereka yang bukan anggota Sarekat Islam tidak mendapat pelarangan. Pembedaan yang sering dilakukan pemerintah kolonial terhadap Sarekat Islam seperti diataslah yang turut membentuk kesadaran masyarakat dalam melihat ketidakadilan sikap pemerintah kolonial.

  1. Peran Sarekat Islam Lokal Toli-Toli di Bidang Sosial
Peran Sarekat Islam di bidang sosial untuk masyarakat Toli­Toli terlihat jelas ketika Sarekat Islam menjadi wadah pembelaan masyarakat yang menjadi korban program heerendienst, terlebih untuk kalangan berumur yang masih dilibatkan dalam program ini. Melihat dari catatan gerak Sarekat Islam di bidang sosial, Sarekat Islam beberapa kali mengadakan pembelaan hak untuk kalangan ini. Hal itu didasari oleh pandangan ketidakrelevansian ketika orang­orang yang telah berumur dimaksud masih dilibatkan dalam heerendienst. Sebagai indikasi pembelaan Sarekat Islam terhadap golongan tersebut, dapat dilihat dari beberapa pledoi Abdoel Moeis yang dinyatakan dalam siding volksraad tahun 1921. Abdoel Moeis mencontohkan kasus­kasus yang antara lain:
a.       Seorang tua di Donggala yang berumur 70 tahun. Dikabarkan 5 tahun sebelum kasus ini diangkat, ia sudah bebas dari heerendienst. Orang yang dimaksud telah 3 tahun bebas, akan tetapi setelah ia masuk Sarekat Islam ia kembali dikenakan heerendienst. Orang yang dimaksud bernama Larentje alias Walantjo yang dulunya tinggal di kampong Labongga, pindah ke Alindakoe kemudian pindah lagi ke Dampelas.
Menurut keterangan sekretaris Donggala, Larentje masuk anggota Sarekat Islam pada tanggal 14 Oktober 1916. Menurut Register, pada bulan Januari 1916 ia sudah dikenakan heerendienst dan ketika itu ia berumur 50 tahun. Tanggal 20 Maret 1919 Abdoel Moeis menemui Larentje di Dampelas untuk mengklarifikasi masalah ini. Menurutnya, ketika itu Larentje berusia 60 tahun, dimana keadaan fisiknya sudah sangat memprihatinkan. Giginya sudah habis dan pungungnya juga sudah bongkok. Menurut kesaksian Larentje sendiri, selamanya ia bekerja Heerendienst, ia meninggalkan heerendienst hanya jika sakit. Ia merupakan tukang kayu yang juga terlibat dalam pembangunan jembatan.
b.      Seorang Bumiputra yang mendapat bintang perunggu dan mendapat surat keterangan yang diberikan kepada seorang militer dalam aglemeen staamboek No. 51865. Dinyatakan bahwa ia memiliki hak memakai tanda kehormatan, selalu dimuliakan dalam pekerjaan penting semasa perang Boni. Menurut peraturan itu, berhak untuk tidak mengikuti heerendienst. Akan tetapi setelah ia masuk Sarekat Islam, ia turut dikenakan heerendienst. Orang yang dimaksud bernama Djirong, dulunya menjadi mandor kuli dalam expedisi Boni.
c.       Seorang bumiputra yang menderita penyakit malaria selama 10 tahun, dulunya ia terbebas heerendienst. Akan tetapi turut dipekerjakan kembali setelah diketahui tergabung dengan Sarekat Islam.
d.      Mendengar perhatian Sarekat Islam terhadap kepentingan orang­orang lanjut usia di wilayah Toli­Toli cukup besar, maka terjadi fenomena datangnya beberapa orang jompo dari Oena­oena yang datang meminta perlindungan Abdoel Moeis untuk dibebaskan dari heerendienst. Orang­orang tersebut antara lain adalah Laboeloeng (tukang kayu); kemudian Lapelemai, Haji Labase, Lamoenri.
Melihat beberapa kasus di atas, ditemui sikap pemerintah kolonial yang cenderung menekan anggota­anggota Sarekat Islam dengan berbagai perlakuan yang tidak relevan. Hal itu membuktikan kekhawatiran dari pihak pemerintah akan Sarekat Islam semakin meningkat. Akan tetapi Abdoel Moeis tambah memiliki keberanian mengungkap masalah ini dalam sidang volksraad. Ia meminta pejabat kolonial yang juga duduk di kursi volksraad untuk membebaskan orang­orang yang berhak untuk tidak terlibat dalam heerendienst.

  1. Peran Sarekat Islam Lokal Toli-Toli di Bidang Agama
Kehadiran Sarekat Islam di Toli­Toli telah membawa perubahan dan pembaharuan, baik dalam kehidupan keagamaan maupun kemasyarakatan juga sosial politik. Di bidang agama, telah terjadi peningkatan pengamalan ibadah bagi umat Islam. Peningkatan tersebut terjadi mulai dari penunaian ibadah sholat, puasa, zakat. Perhatian Sarekat Islam dalam meningkatkan ibadah masyarakat Toli­Toli adalah menunjang dengan bangunan ibadah seperti masjid, surau dan langgar. Jika dibandingkan pada tahun­tahun awal abad XX, terdapat peningkatan jumlah bangunan peribadatan Islam di Toli­Toli.
Seperti yang diberitakan dalam Neratja tahun 1921, kehadiran Sarekat Islam di Toli­Toli pada awalnya banyak kegiatan keagamaan yang dilakukan Sarekat Islam. Kehadiran Sarekat Islam di daerah ini hanya memperkuat keislaman masyarakat yang telah banyak terkontaminasi pengaruh adat setempat. Melihat hasil dari pendekatan agama, maka didapati jalinan antara pedagang dengan para petani dengan nuansa persaudaraan Islam. Golongan tersebut merupakan golongan yang dijadikan Sarekat Islam sebagai target syiar agama Islam. Hal tersebut menjadi dasar bahwa masyarakat petani Toli­Toli sebagian besar beragama Islam dan menjadi basis massa yang mendukung keanggotaan Sarekat Islam. Indikasi yang memperkuat semangat solidaritas keislaman tersebut juga dapat dilihat dari melekatnya motto yang bernuansa Islam dari kartu anggota Sarekat Islam Toli­Toli.
Keberhasilan pendekatan agama oleh SI dalam masyarakat Toli­Toli juga dapat dilihat dari meningkatnya prestis masyarakat yang aktif dalam agama. Setelah beberapa kunjungan CSI, posisi keimanan menjadi meningkat, banyak orang memilih pengakuan yang lebih baik dengan menjadi haji, ustad, dan ulama. Figur­figur tersebut banyak mendapat tempat di tengah masyarakat. Mereka menjadi pemimpin informal yang turut menentukan keputusan dalam masyarakat, kebanyakan dari mereka di taati dan dijadikan teladan oleh masyarakat. Fenomena tersebut di fasilitasi Raja setempat dengan menempatkan mereka sebagai penasehat pemerintahan Raja.
Pemerintah kolonial sendiri memberikan pembatasan terhadap penyebaran agama Islam terutama dalam bidang pendidikan, perkawinan dan talak orang yang beragama Islam, pembangunan masjid, uang masjid, zakat dan fitrah, perayaan hari besar Islam, surat perjalanan untuk orang yang akan naik haji ke Mekah. Peraturan ini mengharuskan izin tertulis dari bupati atau pejabat yang berkedudukan sama. Ketentuan­ketentuan ini sangat membatasi ruang gerak dari penyebaran agama Islam sendiri. Disinilah Sarekat Islam memperjuangkan dihapuskannya pembatasan­ pembatasan ini, sehingga masyarakat Toli­Toli dapat melaksanakan ibadah haji.

  1. Peranan Sarekat Islam Lokal Toli-Toli di Bidang Politik
Kebijakan­kebijakan pemerintah kolonial untuk daerah Toli­Toli selalu mengacu pada proses percepatan eksploitasinya. Walaupun banyak kebijakan­kebijakan tersebut kurang mempertimbangkan kepentinga berbagai unsur yang terlibat didalamnya. Hal ini praktis menjadi pemicu tenggelamnya keberlangsungan eksistensi politik lokal Toli­Toli. Peran yang menonjol diperlihatkan Sarekat Islam ketika kebijakan heerendienst dan belasting dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Jelasnya Sarekat Islam melawan kebijakan kolonial tersebut, mulai dari penggalangan kesadaran masyarakat dengan propagandanya sampai pada pernyataan atas ketidaksesuaiannya pelaksanaan kebijakan kolonial yang dilanjutkan dengan penggerakan massa.
a.       Penentangan terhadap Belasting
Pajak penghasilan dibebankan pada semua jenis penghasilan sebanyak 5%. Pungutan mencapai f1, pungutan ini berdasarkan jumlah warga. Seorang kepala keluarga yang memiliki banyak anggota keluarga akan dipungut angka lebih tinggi. Sementara suatu keluarga yang tidak berdiri sendiri namun (hidup diatas tanggungan orang lain) tidak menjadi bagian dari masyarakat yang terkena pajak. Penarikan pajak yang dilakukan bisa menyumbangkan ke kas negara sebanyak f17 ribu salama setahun. Hasil ini disetorkan kepada kas daerah (landschap kas). Sementara untuk orang­orang tua atau yang sudah tidak sanggup lagi bekerja dapat diberikan kebebasan menjalankan kerja.
Dibanding 15 tahun kebelakang, pajak yang dipungut dari rakyat pun sama nominalnya, bahkan mungkin jumlah pikulannya/upeti lebih besar. Yang membedakan adalah alokasi dari pajak itu sendiri, jadi tidak terdapat kerelaan dari masyarakat jika pajak yang dipungut dari mereka akan masuk kepada pemerintah kolonial. Masyarakat berpendapat, kompeni telah memiliki harta yang lebih, maka masyarakat merasa sedang ditindas jika mereka masih memungut pajak.
Sebenarnya bukan perkara yang mudah untuk menentukan batasan penindasan dalam penerapan Belasting, karena dalam setiap negara pasti membutuhkan biaya untuk menjalankan roda pemerintahan dan salah satu jalan untuk memperoleh biaya tersebut adalah dengan jalan memungut pajak terhadap rakyatnya. Penduduk Hindia pada masa itu lebih menganggap bahwa pemimpin mereka adalah raja­raja lokal, mereka sama sekali tidak berkeberatan jika harus membayar upeti kepada raja­raja lokal tersebut karena sistem kepercayaan tradisional yang mereka anut. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu dasar pemikiran mengapa rakyat Hindia Belanda harus berkeberatan permasalahan belasting.
Isu yang diusung Sarekat Islam Toli­Toli tentang pengurangan pajak mendapat perhatian dari masyarakat. Langkah nyata Sarekat Islam untuk mewujudkan usahanya tersebut adalah dengan jalan mengajukan permohanan setiap ada wakil dari CSI yang mendatangi vergadering, dengan maksud agar masalah mereka dapat di angkat dan diperjuangkan oleh CSI. Melalui propangandanya, Sarekat Islam berhasil merangkul massa yang sejalan dengan haluan Sarekat Islam, sehingga membuka kemungkinan timbulnya pemberontakan terhadap pemerintah.
Kecurigaan pemerintah terhadap Sarekat Islam sudah mulai tercium dalam laporan Ziezel. Laporan tersebut menuliskan bahwa Sarekat Islam telah memotori masyarakat untuk memberontak lewat isu yang diusung Sarekat Islam yakni perkara belasting dan heerendienst. Berdasarkan laporan Ziesel, pemberontakan tidak akan pernah terjadi selama tidak ada pihak yang berusaha memprovokasi masyarakat untuk melakukan perlawanan dimana belasting dan heerendienst dijadikan alasan. Ia menyebutkan bahwa yang merasa keberatan akan belasting ini adalah kalangan pemborong pekerja. Asumsinya adalah jika pajak mengalami kenaikan maka akan dibarengi dengan kenaikan upah pekerja juga. Ziesel juga mensinyalir bahwa penentangan atas belasting oleh rakyat juga sarat akan kepentingan pihak pemborong itu.
b.      Sarekat Islam Toli-Toli untuk Menentang heerendienst
Kebijakan heerendienst di Sulawesi Tengah diatur dengan Besluit Resident Manado tanggal 11 Juli 1907 No. 488. Pelaksanaan heerendienst di Toli­Toli dilaksanakan pada waktu adanya proyek pembukaan jalan dan pembangunan jembatan pelabuhan Tanjung Batu sepanjang 300 meter pun dijalankan dengan sistem seperti diatas. Sistem heerendienst juga diterapkan pada waktu pembangunan jalan yang menghubungkan Kampung Baru­Badjongan sejauh 25 Km, Lingadang­Satigi sejauh 9 Km, Malala­Tinabogang­Malomba­Lais sepanjang 15 Km.
Menurut pandangan pemerintah kolonial yang memiliki kepentingan eksploitasi di daerah ini, keberadaan jalan­jalan penghubung antara daerah tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting untuk memperlancar mobilitas ekonomi antar daerah tersebut. Pembangunan prasarana transportasi juga dikerjakan di daerah­daerah lain, dan tentunya melalui heerendienst, seperti Kampung Baru (ibu negeri Toli­Toli). Untuk pelaksanaannya, proyek ini tidak mampu dilakukan oleh orang­orang terdekat. Akses masyarakat untuk menuju ke tempat pengerjaan pelabuhan ini sangatlah jauh jika ditempuh dengan jalan darat. Kebanyakan orang­orang berangkat dengan sampan­sampan kecil, kemudian keberatan mulai dirasakan oleh masyarakat. Alasannya adalah, pertama jarak tempuh untuk bekerja lebih jauh; populasinya/orang yang bekerja lebih sedikit dan walaupun upah rodinya besar.
Sejak dibentuknya Sarekat Islam di Toli­Toli, terdapat propaganda yang selalu didengungkan oleh tokoh­tokoh Sarekat Islam. Setelah merebaknya isu tersebut, dan kolektivitas masyarakat telah terangkul dalam haluan Sarekat Islam, maka terdapat respon merebaknya berbagai dukungan dari rakyat akan pernyataan sikap Sarekat Islam terhadap penolakan heerendienst Proses Pengangkatan isu mencabut heerendients tak lepas dari peran aktifis Sarekat Islam lokal Toli­Toli yang bersifat sebagai motor, yakni tokoh seperti Maros. Beberapa tokoh Sarekat Islam lokal Toli­Toli yang juga gencar meneriakkan propaganda, seperti seorang lid Sarekat Islam, Katebe. Terdapat pernyataannya dalam salah satu vergadering Sarekat Islam: “kumpulan kita sekarang sudah kuat, kalau pemerintah nanti memerintah apa­apa, saudara sekalian tidak usah menurutnya”. Pernyataan tersebut jelas bermakna bahwa tedapat upaya pengajakan untuk menentang kebijakan pemerintah kolonial. Penentangan akan heerendienst sebenarnya sudah terdengar ketika Haji Ali menjabat presiden Sarekat Islam Toli­Toli. Sebagai presiden yang waktu itu dekat dengan wakil CSI Abdoel Moeis, ia pun tergolongorang yang mendukung haluan Sarekat Islam. Artinya ia aktif juga dalam memperjuangkan keinginan rakyat untuk tidak tertekan dalam kebijakan pemerintah kolonial.



BAB III
KESIMPULAN

Mulai disahkannya peraturan pembentukan Sarekat Islam lokal oleh pemerintah kolonial pada tahun 1916, menjadi latar belakang berdirinya Sarekat Islam lokal Toli­Toli. Tahun 1916 juga Sarekat Islam lokal Toli­Toli berdiri. Gerakan­gerakan SI Toli­Toli merupakan proyeksi yang mengacu pada isu pembentukan pemerintahan sendiri dengan pembentukan kapital­kapital bumiputera seperti yang sering di bicarakan dalam setiap sidang CSI (Central Sarekat Islam). Dalam perkembangannya Sarekat Islam Lokal Toli-Toli mengumpulkan basis massa  dari dua golongan, yaitu basis massa dalam kalangan agama dan basis massa dalam kalangan ekonomi.
Di tengah situasi terpuruknya masyarakat atas berbagai kebijakan pemerintah kolonial pada awal abad XX di Toli­Toli, Sarekat Islam berperan sebagai organisasi yang mengakomodir kegelisahan masyarakat, karena diketahui unit­unit penyelenggaraan kehidupan masyarakat yang meliputi bidang politik, sosial serta ekonomi, secara sistematik telah bersinggungan dengan haluan kolonialisasi. Sarekat Islam menempatkan diri dan secara konkret menjembatani serta melindungi beberapa kepentingan masyarakat dengan sejumlah sifat pergerakannya yang khas. Peranan Sarekat Islam dalam dinamika masyarakat Toli-Toli tahun 1916-1919 mencakup dalam bidang ekonomi yang disebabkan oleh kapitalisme kolonial di kalangan pemegang modal Toli-Toli dan rakyat kalangan bawah. Peranan Sarekat Islam dalam bidang sosial dan bidang agama karena perubahan dan pembeharuan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Dalam bidang politik, Sarekat Islam berperan untuk menentang belasting dan heerendienst.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll